Rabu, 20 Januari 2010

Semangat Baru

Hidup itu penuh dengan ekspresi . Jadi gue akan mengekspresikan kehidupan gue.

Daftar Review Buku

  Campuran:
  1. In Cold Blood (Truman Capote) – 4 bintang.
  2. Si Pembuat Jam (Philip Pullman) – 3 bintang.
  3. Bulan Jingga dalam Kepala (Fadjroel Rachman) – 2 bintang.
  4. The Edge Chronicles #1 : Beyond The Deepwoods (Paul Stewart) – 3 bintang.
  5. Adu Jotos Lone Ranger dan Tonto di Surga (Sherman Alexie) – 3 bintang.
  6. A Thousand Splendid Suns (Khaled Hosseini) – 3 bintang.
  7. Anastasia Krupnik: Petaka di Dua Pesta (Lois Lowry) – 3 bintang.
  8. Chocolat (Joanne Harris) – 3 bintang.
  9. Ketika Cinta Tak Mau Pergi (Nadhira Khalid) – 3 bintang.
  10. Taj (Timeri N. Murari) – 3 bintang.
  11. The Space Between Us (Thrity Umrigar) – 3 bintang.
  12. I Was A Rat (Philip Pullman) – 3 bintang.
  13. Senja di Himalaya (Kiran Desai) – 4 bintang.
  14. The Spellman Files (Liza Lutz) – 3 bintang.
  15. A Long Way Gone (Ishmael Beah) – 4 bintang.
  16. Man and Wife (Tony Parsons) – 3 bintang.
  17. The Four Fingered Pianist (Kurnia Effendi) – 3 bintang.
  18. Nirzona (Abidah El Khalieqy) – 3 bintang
  19. Snow (Orhan Pamuk) – 4 bintang.
  20. Horeluya (Arswendo Atmowiloto) – 3 bintang.
  21. Novel Pangeran Diponegoro (Remy Sylado) – 2 bintang.
  22. Adam Hawa (Muhidin M Dahlan) – 2 bintang.
  23. The Children of The Lamp (P.B. Kerr) – 3bintang.
  24. Bilangan Fu (Ayu Utami) – 3 bintang.
  25. Kacapiring (Danarto) – 3 bintang.
  26. Niskala (Hermawan Aksan) – 3bintang.
  27. Namaku Grace Aja! (Charise Mericle Harper) – 3 bintang.
  28. Harry dan Geng Keriput (Alan Temperley) – 2 bintang.
  29. Olenka (Budi Darma) – 4 bintang.
  30. Nora (Putu Wijaya) – 2 bintang.
  31. Jalan Raya Pos, Jalan Daendels (Pramoedya Ananta Toer) – 3 bintang.
  32. Kartunama Putih (Kurnia Effendi) – 3 bintang.
  33. Half of A Yellow Sun (Chimamanda Ngozi Adichie) – 4 bintang.
  34. The Last Concubine (Lesley Downer) – 3 bintang.
  35. Kanakar (Ucu Agustin) – 3 bintang.
  36. Trilogi Rara Mendut (YB.Mangunwijaya) – 4 bintang.
  37. Balada Seorang Penyiar (Mare Males) – 3 bintang.
  38. Apartemen Yacoubian (Alaa Al Aswany) – 3 bintang.
  39. Aku Ingin Pindah Rumah (Aan Mansyur) – 3 bintang.
  40. The Alchemyst (Michael Scott) - 3 bintang.
  41. Lagi-Lagi Grace Aja - 3 bintang
  42. Bookends (Jane Green) - 3 bintang.
  43. Maryamah Karpov (Andrea Hirata) - 2 bintang.

Buku Lokal:

1.      Cinta di AtasPerahu Cadik (Kumpulan Cerpen Kompas Terbaik) - 166 hlm
2.      Eendaagsche Exprestreinen (Yusi Pareanom dkk) - 62 hlm
3.      Pada Sebuah Kapal (NH Dini) - 351 hlm
4.      Kolam (Sapardi Djoko Damono) - 120 hlm
5.      Tanah Tabu (Anindita S Thayf) - 237 hlm 
6.      Perempuan Berkalung Sorban (Abidah El Khalieqy) - 320 hlm
7.      Merjan-Merjan Jiwa (Kurnia Effendi) - 350 hlm
8.      Ma Yan (Sanie B Kuncoro) - 214 hlm  
9.      Elle Eleanor (Zev Zanzad) - 426 hlm
10.  Metropolis (Windry Ramadhina) - 331 hlm
11.  Dua Ibu (Arswendo Atmowiloto) - 304 hlm
12.  Laki-Laki Beraroma Rempah-Rempah (Tina K) - 262 hlm
13.  Perahu Kertas (Dee Lestari) - 456 hlm
14.  9 dari Nadira (Leila S Chudori) - 270 hlm
15.  Kitab Omong Kosong (Seno Gumira Ajidarma) - 524 hlm
16.  Khotbah di Atas Bukit (Kuntowijoyo) - 198 hlm
17.  Cinta 4 Bab (Hermawan Aksan) - 271 hlm
18.  9 Matahari (Adenita) - 350 hlm
19.  Ripin (Kumpulan Cerpen Kompas Terbaik 2005-2006) - 179 hlm
20.  Raden Saleh: Anak Belanda, Mooi Indie & Nasionalisme (Peter Carey, Harsja Bachtiar, Ong Hok Ham) - 240 hlm
21.  Maryamah Karpov (Andrea Hirata) - 504 hlm

Buku  Terjemahan:

1.       The Book of Lost Things (John Connoly) - 472 hlm
2.      Anne of Green Gables (Lucy M Montgomery) - 516 hl
3.      Morality for Beautiful Girls (Alexander McCall Smith) - 265 hlm
4.      Embroideries/Bordir (Marjane Satrapi) - 136 hlm
5.      Sweetness in the Belly (Camilla Gibb) - 500 hlm
6.      Nightmare Academy (Dean Lorey) - 320 hlm
7.      Inkheart (Cornelia Funke) - 536 hlm
8.      Breakfast at Tiffany (Truman Capote) - 163 hlm 
9.      Kenakalan-Kenakalan Baru Emil (Astrid Lindgren) - 136 hlm 
10.  Sejarah Singkat Traktor dalam Bahasa Ukraina (Marina Lewycka) - 416 hlm 
11.  The Tuesday Erotica Club (Lisa Beth Kovetz) - 358 hlm
12.  Esio Trot/Aruk-Aruk (Roald Dahl) - 64 hlm
13.  Diary: Si Musuh Geng Kodok (Jessica Green) - 323
14.  Botchan (Natsume Soseki) - 224 hlm
15.  Lelaki Tua dan Laut (Ernest Hemingway) - 145 hlm 
16.  The Mysterious Benedict Society 1 (Trenton Lee Stewart) -  574 hlm
17.  The Mysterious Benedict Society 2 (Trenton Lee Stewart) - 546 hlm
18.  Charlie and the Chocolate Factory (Roald Dahl) - 200 hlm
19.  Chicken with Plum (Marjane Satrapi) - 88 hlm
20.  Honeymoon with My Brother (Franz Wisner) - 485 hlm
21.  Room to Read (John Wood) - 386 hlm
22.  In Love with Nation (Molly Bondan) - 297 hlm  
23.  Di Negeri Penjajah: Orang Indonesia di Negeri Belanda (1600-1950) (Harry A Poeze) - 417 hlm
24.  The Twits (Roald Dahl) - 96 hlm
25.  Coraline (Neil Gaiman) - 232 hlm
26.  Three Cups of Tea (Greg Mortenson, David Oliver Relin) - 630 hlm
27.  The Swordless Samurai (Kitami Masao) - 280 hlm 
28.  The Lorax (Dr. Seuss) - 72 hlm
29.  Gadis Berbunga Kamelia (Alexandre Dumas Jr.) - 326 hlm
30.  Spanning A Revolution: Kisah Mohamad Bondang, Eks Digulis dan Pergerakan Nasional Indonesia (Molly Bondan) - 423 hlm

Review Buku: Anne of Green Gables



Judul buku: Anne of Green Gables
Penulis: Lucy M. Montgomery
Penerjemah: Maria M. Lubis
Penerbit: Qanita
Cetakan: I, 2008
Tebal: 516 hlm

Bukankah menakjubkan jika ada sebuah buku yang diterbitkan seabad silam masih memesona dibaca hari ini? Bukankah itu berarti buku tersebut telah berhasil melampaui ujian waktu? Rasanya karya tersebut sangat pantas disebut karya yang abadi, terus hidup jauh melebihi usia penulisnya. Jika saya harus menyebut salah satu buku seperti itu, maka itu adalah Anne of Green Gables karya pengarang Kanada, Lucy Maud Montgomery yang diterbitkan pertama kali pada 1908.

Konon, sejak penerbitan pertamanya hingga hari ini, Anne of Green Gables telah terjual lebih dari 50 juta kopi di seluruh dunia. Saya sudah lama mendengar tentang kekerenan buku ini dan karena itu merasa sangat beruntung ketika akhirnya buku ini terbit juga dalam bahasa Indonesia.

Sejatinya, novel ini adalah bacaan untuk segala umur. Menyenangkan membaca sebuah buku yang karakter utamanya anak-anak. Sepertinya cerita yang hadir terasa lebih jujur. Atau mungkin juga lantaran diam-diam kita selalu rindu untuk kembali ke masa-masa manis itu, masa kecil kita, tatkala semua terasa mudah dan indah.

Tokoh utamanya adalah Anne, seorang anak perempuan berumur 11 tahun. Mulanya Anne hidup sebatang kara di dunia ini. Ayah dan ibunya meninggal ketika Anne masih sangat kecil. Ia lalu secara bergantian diasuh oleh beberapa orang kerabat ayah ibunya sebelum akhirnya dipelihara di sebuah panti asuhan. Anne juga pernah mengalami masa-masa sulit lainnya sebagai pelayan dan pengasuh anak.

Tetapi Anne adalah seorang anak periang yang selalu berpikir positif dan memiliki ambisi tinggi untuk hal-hal yang baik di samping sifatnya yang romantis yang menyebabkan ia senang berkhayal. Dia memperlakukan dunia dan orang-orang di sekitarnya dengan penuh kasih sayang. Ia juga seorang gadis kecil yang sangat impulsif, jujur, serta sahabat yang setia bagi Diana Barry. Meskipun kadang-kadang ia membuat kesalahan yang tidak perlu, namun ia tak pernah mengulangi kesalahan yang sama itu di lain waktu. Nyaris tak ada hal yang mampu membuatnya bersedih dan marah kecuali jika ada yang berani menghina rambut merahnya dan memanggilnya “wortel”.

Green Gables adalah nama pondok petani milik kakak beradik Cuthbert. Tatkala Marilla dan Matthew beranjak semakin tua, mereka memutuskan untuk mengadopsi seorang anak lelaki agar bisa membantu kerja mereka di ladang. Akan tetapi, sebuah panti asuhan melakukan keliruan. Kekeliruan yang kelak justru sangat disyukuri oleh Marilla dan Matthew : mengirimkan Anne.

Hidup kedua Cuthbert yang tidak pernah menikah itu pun perlahan-lahan berubah berkat kehadiran gadis cilik  yang suka memberi nama setiap pohon dan tempat di sekitarnya. Pohon ceri tua di muka pondok pun kini punya nama romantis, Ratu Salju. Begitu juga danau, jalan desa, bunga-bunga, dan hutan. Sesuai sifat Anne yang romantis, nama-nama yang diberikannya pun nama-nama yang indah : Danau Air Riak Berkilau, Kanopi Kekasih, Permadani Violet…..

Segera saja Anne membuat jatuh cinta hampir seluruh penghuni Avonlea, desa kecil di Pulau Prince Edward, Kanada. Oh, bukan cuma orang-orang di buku itu yang dibuatnya jatuh cinta, tetapi juga termasuk saya. Karakter rekaaan Lucy Montgomery ini begitu kuatnya, sehingga seolah-olah ia benar-benar hidup dan menjelma ke luar buku. Atau sebaliknya, saya yang merasa seakan-akan ikut menjadi bagian cerita dan tinggal di Avonlea.  

Sebagai pendongeng, Lucy telah berhasil memikat hati pembacanya. Dengan cemerlang ia memindahkan dunia riil (kehidupan pedesaan) ke dalam buku lewat deskripsi dan imajinasinya sehingga Anne of Green Gables menjadi sebuah buku klasik yang indah dan abadi. Ia menciptakan konflik-konfliknya secara sangat wajar dan menyelesaikannya juga dengan elegan. Kadang-kadang berakhir lucu dan kali lain penuh  keharuan. Tak ada yang dipaksakan. Semuanya mengalir jernih. Moral ceritanya terbungkus rapi sehingga hampir-hampir kita tak merasakan kehadirannya.

Penggambarannya tentang Avonlea membuat saya jadi merindukan desa. Bukan kampung halaman–karena saya sudah tidak punya kampung–tetapi desa seperti yang selama ini saya kenal lewat tulisan, lukisan, dan sajak-sajak: ada pohon-pohon, bunga, gemericik sungai, telaga, langit yang cerah, kicau burung, panen buah,  daun yang gugur, tetangga yang ramah, gosip-gosip, harum kue dipanggang, ayam-ayam, itik, semak belukar……Tetapi bagian terpentingnya adalah semangat buku ini yang mengajarkan kasih sayang. Sekejap saya terkenang kisah Little House on the Prairie.

Seluruhnya kisah Anne ini terdiri dari 8 judul yang akan bercerita hingga Anne dewasa. Mudah-mudahan Qanita mau menerbitkan semuanya. Jangan seperti nasib serial Anastasia Krupnik (Lois Lowry) yang entah kenapa, mandek di buku ketiga.

Nah, Teman, setelah semua kenikmatan membaca buku ini berakhir, agaknya saya harus memasukkan Anne of Green Gables ke dalam daftar buku favorit saya sepanjang masa

Review Buku: Inkheart



Judul buku: Inkheart
Judul asli: Tintenherz
Penulis: Cornelia Funke
Penerjemah: Dinyah Latuconsina
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: I, Januari 2009
Tebal: 536 hlm

Inkheart merupakan buku pertama dari sebuah rangkaian Trilogi Inkworld karya penulis Jerman, Cornelia Funke. Inkheart adalah buku kedua Funke yang saya baca setelah Pangeran Pencuri. Keduanya sudah difilmkan.

Berbeda dengan Pangeran Pencuri yang mengangkat cerita realis, Inkheart lebih cenderung bergenre fantasi. Persisnya, cerita yang mengawinkan dunia nyata dengan dongeng.  Mungkin sudah biasa ya tema semacam ini. Sebut saja Harry Potter sebagai contoh mutakhir. Tetapi, dalam Inkheart nyaris tak ada kekuatan sihir. Kalaupun ada itu mungkin yang disebut sihir kata-kata. Mantra? O, bukan! Ini bahkan lebih dahsyat dari mantra para penyihir karena mampu menghadirkan tokoh-tokoh dalam buku ke dunia nyata.

Pembuat keajaiban itu adalah Mortimer, seorang “dokter” buku. Mo dan anaknya Meggie adalah orang-orang yang sangat mencintai buku. Pekerjaan Mo sebagai tukang reparasi buku–seperti memperbaiki sampul atau halaman-halaman buku yang terlepas–telah memungkinkannya bertemu dengan banyak kolektor buku. Salah satunya adalah Elinor, bibi dari istrinya yang menghilang 9 tahun lalu.

Sembilan tahun yang lalu, saat Meggie masih berumur 3 tahun, sebuah peristiwa ajaib terjadi di rumah mereka; rumah mungil dengan ratusan buku di dalamnya. Mo dikejutkan oleh kemunculan tiga sosok asing yang keluar dari dalam buku Tintenherz yang tengah dibacanya: Capricorn, Basta, dan Staubfinger serta menghilangnya Teresa, istri Mo, masuk ke dalam buku tersebut.

Sejak itu kehidupan Mo–kemudian dijuluki si Lidah Ajaib–dan Meggie tidak sama lagi. Mereka terus diburu oleh ketiga orang tersebut. Untuk menghindari mereka, Mo terpaksa harus menempuh hidup nomaden, berpindah dari satu kota ke kota lain. Hingga suatu ketika mereka tiba di rumah Elinor dan kembali mengalami petualangan yang menegangkan.

Buku ini menjadi memukau terutama lantaran tokoh-tokohnya adalah para pencinta buku yang gila-gilaan. Mo misalnya. Ia lebih rela membelanjakan uangnya untuk buku-buku ketimbang memperbaiki rumahnya yang sempit itu. Ia merawat buku-buku seperti merawat benda pusaka. Kegilaannya menurun pada Meggie, putri satu-satunya. Ke mana pun mereka pergi, benda yang tidak boleh ketinggalan adalah buku-buku.

Namun, tak ada yang melebihi kegilaan Elinor. Perempuan yang melajang itu mengabdikan seluruh hidupnya untuk buku-buku. Ia akan mengupayakan segala macam cara demi mendapatkan sebuah buku yang diinginkannya. Katanya, “Semua kolektor buku itu perampas dan pemburu”. Semua kamar di rumahnya yang besar, nyaris terisi oleh buku-buku dari segala penjuru dunia. Ia menjaga dan mencintai buku-buku itu seperti anak kandungnya sendiri. Alhasil, Elinor telah memikat hati saya dan menjadikannya tokoh favorit dalam buku ini.

Lihat saja bagaimana ia memperlakukan buku-bukunya yang sangat berharga dan ia tidak akan berpikir dua kali untuk menembakmu jika kamu berani menyentuhnya. Elinor juga rela bergelap-gelap di dalam rumahnya hanya karena lebih suka memakai uangnya untuk membeli buku ketimbang membayar tagihan listrik.

Wanita ini memang nyentrik dan tindakannya seringkali ekstrem. Namun, ia seorang yang sangat rasional dan kadang-kadang bisa arief dan bijaksana seperti saat mengucapkan, “Di tempat buku dibakar, di sana manusia pun akan segera hangus binasa.” (hlm.174)

Barangkali buat kamu yang menyukai kisah-kisah fantasi dan petualangan, bagian petualangannya itu yang paling menarik. Tetapi, buat saya, karakter-karakter para kutu buku ini jauh lebih menawan. Bukan mustahil, tokoh-tokoh rekaan ini adalah gambaran penulisnya yang juga seorang kutu buku (ia mengutip kalimat-kalimat indah dari buku-buku keren yang dibacanya di setiap bab buku ini. Saya paling suka yang ini: "Untukku, si miskin - perpustakaanku cukuplah sebagai harta" - Shakespeare, The Tempest, hlm. 282).

Sesungguhnyalah, Inkheart merupakan sebuah buku tentang buku. Tentang kecintaan terhadap buku. Tentang keajaiban kata-kata pada lembar-lembar kertas yang menghidupkan  cerita dan memberi ruh, nyawa bagi tokoh-tokohnya.  Rasanya Funke ingin menyampaikan pesan, bahwa cerita yang baik adalah cerita yang hidup; yang membuat pembacanya seolah-olah masuk ke dalamnya dan bertemu dengan tokoh-tokohnya. Ah, dalam hal ini, tampaknya saya harus sepakat.

Kelanjutan Inkheart adalah Inkspell dan Inkdeath. Mudah-mudahan segera terbit.

Review Buku: Breakfast at Tiffany's



Judul buku: Breakfast at Tiffany’s
Penulis: Truman Capote
Penerjemah: Berliani m. Nugrahani
Penerbit: Serambi
Cetakan: I, 2009
Tebal: 163 hlm

Biasanya, “peraturan”-ku adalah: baca bukunya dulu baru kemudian menonton filmnya, karena jika sebaliknya, maka imajinasiku jadi terbatas. Aku akan terkungkung oleh ingatan kepada filmnya selama membaca bukunya. Dan itu sebuah situasi yang sangat tidak nikmat dalam membaca buku.

Namun, sayangnya aku tidak selalu bisa mematuhi peraturanku sendiri itu. Banyak faktor yang menyebabkannya. Salah satunya misalnya lantaran buku terjemahannya terbit lama setelah filmnya dibuat. Ya, sebenarnya itu karena aku yang malas baca buku versi Inggrisnya. Habis mahal dan belum tentu ada di Indonesia (Alasan saja, padahal sebab utamanya adalah kemampuan bahasa Inggrisku yang minus :D)

Maka, ketika suatu hari aku memperoleh kesempatan nonton film Breakfast at Tiffany’s yang legendaris itu, tak kusia-siakan, walaupun aku belum membaca novelnya. Novel Truman Capote yang terbit pertama kali pada 1958 ini, edisi bahasa Indonesianya baru terbit awal 2009. Filmnya dibuat tahun 1961 dengan bintang utamanya si jelita Audrey Hepburn. Malalui film ini, Audrey Hepburn telah sukses menjadi salah satu ikon Hollywood. Ia akan selalu dikenang lewat perannya sebagai Holly Golightly ini. Beruntunglah ia, sebab awalnya Capote ingin lakon tersebut dimainkan oleh Marilyn Monroe.

Maka, karena aku telah melanggar peraturan, terjadilah hal yang telah kusebutkan di atas. Imajinasiku terpenjara oleh filmnya. Sepanjang membaca bukunya, mau tak mau aku membayangkan sosok Holly Golightly seperti Audrey Hepburn itu. Celakanya lagi, cerita di buku tidak sama dengan yang di film. Banyak banget bedanya. Dan apa boleh buat, aku harus mengatakan, aku lebih bisa menikmati filmnya.

Plot di film lebih disederhanakan. Karakter-karakternya juga tidak serumit dan sebanyak  di buku. Pendek kata, banyak terjadi penyimpangan di filmnya yang konon telah membuat Capote kecewa berat.

Lalu, mana yang lebih bagus? Hmm…dua-duanya bagus. Namun, karena keduanya merupakan media yang berbeda, tentu saja masing-masing memiliki kelemahan dan kelebihan. Pada novel, peluang untuk menyajikan detail lebih terbuka. Juga kesempatan untuk menggali karakter tokoh-tokohnya lebih memungkinkan. Sementara film memiliki kelebihan untuk bisa menghadirkan cerita dan tokoh-tokohnya menjadi hidup dalam gambar yang bergerak. Apalagi jika ditingkahi oleh ilustrasi musik dan efek visual yang bagus, maka akan terjadi apa yang disebut: menghidupkan buku.Bukan mustahil akan lebih keren dari bukunya. Contohnya, The Lord of the Rings (Peter Jackson).

Karakter utama kisah ini adalah Holly Golightly. Seorang wanita muda yang memiliki masa lalu suram di sebuah desa kecil di Texas. Suatu hari ia kabur dari rumahnya dan bertualang sebagai wanita penghibur di New York. Bermodalkan parasnya nan rupawan, dengan mudah Holly memperoleh uang untuk mengongkosi gaya hidupnya sebagai wanita kelas atas. Kecantikannya memungkinkan ia segera diterima oleh kalangan atas New York. Ia mengencani banyak pria dari berbagai kalangan. Mulai dari selebriti Hollywood, pengusaha, hingga politisi. Konon, Holly merupakan karakter fiktif favorit penulisnya. Bisa dimengerti, sebab kekuatan buku ini memang ada pada pengkarakteran Holly yang istimewa. Kompleks. Jika kita harus mengingat novel atau filmnya, maka yang pertama kita sebutkan adalah Holly Golightly.

Seting cerita adalah New York tahun 40-an, masa berkecamuknya Perang Dunia II. Kisahnya disampaikan melalui penuturan tokoh aku yang dipanggil Fred, kakak lelaki Holly (di film bernama Paul Varjak), seorang pria penulis yang jatuh cinta pada Holly. Sepertinya, novel ini merupakan gambaran masyarakat elit New York tahun 1940-an yang hidup serba-glamour, setiap malam berpesta, minum-minum, makan enak di restoran mewah, berbusana mahal dari rumah mode terkenal lengkap dengan perhiasannya. Sebuah kehidupan yang dilakoni oleh Truman Capote selaku pesohor Hollywood. Karena itulah ia mampu menggambarkannya dengan baik.

Jika aku boleh menyarankan, lebih baik baca novelnya dulu sebelum menonton filmnya

Review Buku: Pada Sebuah Kapal



Judul buku: Pada Sebuah Kapal
Penulis: NH Dini
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: Kesembilan, 2004
Tebal: 351 hlm

Nama NH Dini sudah kudengar sejak aku di SMP lewat pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Jika harus menyebut salah satu karya terbaiknya dari sekian banyak buku yang ditulisnya, Pada Sebuah Kapal adalah jawabannya. Novel panjang yang konon memakan waktu 10 tahun dalam proses penerbitannya ini, bisa jadi merupakan otobiografi penulisnya. Banyak terdapat kesamaan, baik kisah maupun karakter, antara tokoh Sri dalam buku ini dengan NH Dini yang juga bernama lengkap Nurhayati Sri Hardini Siti Nukatin.

Novel ini terbit pertama kali pada 1973 di bawah penerbit PT Dian Pustaka Jaya. NH Dini mengetik naskahnya hanya dalam waktu satu bulan pada tahun 1963. Waktu itu ia telah menikah dengan seorang diplomat Prancis, Yves Coffin. Dalam buku ini, tokoh utamanya, Sri juga menikah dengan seorang diplomat Prancis, Charles Vincent. Sri, sebagaimana Dini, adalah seorang penari dan penyiar radio.

Namun, terlepas dari apakah benar novel ini terkait erat dengan sejarah hidup penulisnya atau hanya fiksi semata, yang jelas Dini telah menuliskannya dengan baik. Alur konvensional yang nyaris menjadi cirinya, tergarap dengan rapi lewat penuturan orang pertama. Melalui teknik ini, Dini lebih leluasa mengeksplorasi perasaan tokoh utamanya serta menggambarkan secara terperinci situasi dan peristiwa yang dialami sang tokoh.

Cinta menjadi tema pokok novel ini. Tepatnya, perjalanan cinta seorang wanita Jawa bernama Sri yang cukup berliku-liku. Lika-likunya inilah yang menarik, sebab di dalamnya terkandung unsur-unsur budaya, feminisme, dan pandangan-pandangan Dini terhadap keduanya. Melalui Sri yang lembut sekaligus pemberontak, Dini menggugat ihwal peran istri dan perempuan pada saat itu. Ia juga telah dengan jujur dan berani mengungkapkan fakta tentang seks sebelum menikah, perselingkuhan, dan perceraian dari perspektif perempuan. Sri yang dididik orang tuanya selaku perempuan Jawa yang harus serbahalus dalam berkata dan bersikap, ternyata memiliki pandangan sendiri dalam urusan cinta. Baginya, hubungan seks antara dua orang yang saling mencintai boleh-boleh saja dilakukan, walaupun pasangan tersebut bukan suami istri. Maka, Sri pun berselingkuh, atas nama cinta. Singkatnya, Sri adalah seorang wanita yang tahu apa yang dia inginkan.

Selain itu, Dini juga tidak canggung menampilkan adegan-adegan seks dalam karyanya ini. Ya, lagi pula mengapa harus sungkan jika itu memang terjadi secara natural–mengalir–dan bukan sekadar tempelan yang dipaksakan hadir. Bagian tersebut merupakan  sesuatu yang menyatu dengan ceritanya. Dan Dini berhasil menghadirkannya dengan luwes tanpa terkesan vulgar. Tampaknya ia hendak menyampaikan, bahwa perempuan juga berhak menikmati seks yang indah dan menyenangkan (bersama lelaki yang dicintainya).

Menariknya lagi, Pada Sebuah Kapal ini dikisahkan dalam dua bagian. Pertama, dituturkan oleh Sri dari sudut pandang perempuan, dan bagian kedua ditulis dari perspektif Michel, kekasih gelap Sri.

Di usia senjanya, NH Dini masih setia menulis sembari sesekali melukis. Ia adalah contoh sebuah kesetiaan dan kecintaan terhadap profesi. Tak lekang digerus waktu. Ia adalah sang legenda

Review Buku: Kolam: Buku Puisi Sapardi Djoko Damono



Judul Buku: Kolam
Penulis: Sapardi Djoko Damono
Penerbit: Editum
Cetakan: I, 2009
Tebal: 120 hlm

Buku ini dibedah pekan lalu (18/5) di Salihara bersama Hasan Aspahani (penyair) dan Muhammad Al Fayyadl. Buku dengan sampul hitam putih bergambar lukisan karya Jeihan ini memuat 51 puisi terbaru Sapardi Djoko Damono (selanjutnya aku sebut Sapardi saja). Kelima puluh satu sajak tersebut dibagi menjadi 3 bagian (kata Reda Gaudiamo pada kesempatan bertemu di sebuah acara sastra, Sapardi sangat suka angka 3).

Tahun ini, tepatnya 20 Maret silam, penyair idolaku ini genap berusia 69 tahun (eh, 69 bukan angka genap, ya?). Sebuah angka yang tidak muda lagi tentu. Namun, pada usia senjanya itu, Sapardi masih terus menyajak, membuktikan kecintaan dan kesetiaannya kepada seni yang bernama puisi.

Kalau kita cermati sejak buku perdananya, DukaMu Abadi (1969 – wow, aku masih orok!) hingga yang hadir terakhir ini, Kolam (2009 – berjarak tepat 40 tahun!), kita bisa lihat ada sesuatu yang mengabadi di dalamnya: kesetiaan Sapardi menggunakan benda-benda alam sebagai alat pengucapan sajak-sajaknya. Dalam rentang 40 tahun itu, kita akan selalu bertemu dengan kabut, bunga, embun, matahari, bulan , bintang, langit, rumput, pohon, ilalang, awan, ranting, sungai, laut, hujan……

Ketika hal tersebut disinggung oleh Zen Hae (penyair) pada malam diskusi di Salihara itu, Sapardi menanggapinya dengan berujar, 
“Yang terpenting adalah bukan apa yang diucapkan, tetapi bagaimana mengucapkannya (puisi). Bagi saya, sudah tidak ada lagi yang baru di dunia ini. Tema dalam puisi itu kan hanya merupakan pengulangan-pengulangan.”

Terlepas apakah Anda setuju atau tidak pada jawaban Sapardi, untukku puisi-puisi bapak ini tetaplah menjadi sesuatu yang memukau. Ia tidak ingin bercanggih-canggih dengan serba-kebaruan. Ia memilih menjadi seorang penjaga “taman” yang setia, sebab “taman” itu adalah temuannya. Miliknya. Seperti halnya celana bagi Joko Pinurbo. Kurang lebih seperti itulah pendapat Hasan Aspahani yang dengan ikhlas kusepakati. Bagiku, dalam kesetiaannya itu, puisi-puisi Sapardi menjadi klasik dan akan senantiasa lestari.

Ada yang menarik, khususnya buatku, pada acara diskusi yang lalu. Sebelum acara resmi dimulai, aku sempat bertukar kata dengan Hasan Aspahani. Tak jauh-jauh topiknya, masih di sekitar pinggir-pinggir Kolam.

Hasan bertanya padaku, “Gimana, Ndah? Sudah khatam Kolam-nya? Apa favoritmu?”

“Pohon Belimbing,” sahutku. Itu merupakan sajak nomor urut 2 di buku ini.

Belum sempat kami membincangnya lebih jauh, Guntur Romli yang malam itu bertindak selaku pembawa acara, telah naik mimbar dan memanggil Hasan untuk segera menempati kursi di muka. Acara akan segera dibuka dengan pembacaan satu puisi oleh Sapardi. Anda tahu, puisi apa yang dipilih beliau? “Pohon Belimbing”. Ah..aku jadi merasa Sapardi khusus membacakannya buatku J

Inilah “Pohon Belimbing” itu:

Pohon Belimbing

                Sore itu kita berpapasan dengan pohon belimbing wuluh
yang kita tanam di halaman rumah kita beberapa tahun yang
lalu, ia sedang berjalan-jalan sendirian di trotoar. Jangan
kausapa, nanti ia bangun  dari tidurnya.
                Kau pernah bilang ia tidak begitu nyaman sebenarnya
di pekarangan kita yang tak terurus dengan baik., juga karena
konon ia tidak disukai rumput di sekitarnya yang bosan
menerima buahnya berjatuhan dan membusuk karena kau
jarang memetiknya. Kau, kan, yang tak suka sayur asem?
                Aku paham, cinta kita telah kausayur selama ini tanpa
Belimbing wuluh; Demi kamu, tau! Yang tak bisa kupahami
adalah kenapa kau melarangku menyapa pohon itu ketika
ia berpapasan dengan kita di jalan. Yang tak akan mungkin
bisa kupahami adalah kenapa kau tega membiarkan pohon
belimbing wuluh ity berjalan dalam tidur?
                Kau, kan, yang pernah bilang bahwa pohon itu akan jadi
Tua juga akhirnya?


Entah. Barangkali aku pun tak paham sepenuhnya maksud puisi ini. Namun, ada yang terasa indah saat aku membacanya. Juga membersit sebuah perasaan cinta yang tulus, yang telah teruji melewati waktu nan panjang. Tetapi tentu saja, Anda boleh mempunyai tafsir yang berbeda terhadapnya. Tak berlaku tafsir tunggal dalam fiksi, terlebih puisi. Memangnya Pancasila? :D

Sebetulnya masih ada satu puisi lagi yang bakal menjadi calon kuat menggantikan “Aku Ingin” sebagai sajak wajib Valentine’s Day versi aku. Wajib di sini artinya, setiap Hari Cinta Kasih itu tiba, aku selalu mengirimkan untaian sajak tersebut kepada beberapa orang (cowok dong) yang “istimewa”. Agaknya, Februari tahun depan, “Aku Ingin” akan kutukar dengan sebuah puisi yang mirip: “Seperti Kabut”. Tidak percaya bahwa mereka mirip satu sama lain? Nih, aku kasih lihat, ya:

Seperti Kabut

aku akan menyayangimu
seperti kabut
yang raib di cahaya matahari:


aku akan menjelma awan
hati-hati mendaki bukit
agar bisa menghujanimu:
pada suatu hari baik nanti.

Bagaimana? Mirip sekali, kan? Spiritnya terutama: cinta.

Jadi, bagi Anda para penggemar Sapardi sepertiku atau penyuka sajak-sajak cinta yang manis romantis, Kolam perlu dimiliki sebagai koleksi karya seorang “dewa”. Puisi-puisinya bukan jenis yang berat, yang membikin kening berlipat empat. Lagian, tak perlu betul untuk benar-benar memahaminya kok. Seperti aku, nikmati saja

Review Buku: Botchan



Penulis: Natsume Soseki
Penerjemah: Indah Santi Pratidina
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: I, 2009.
Tebal: 217 hlm.

Beberapa alasanku memutuskan untuk membaca novel ini:

  1. Desain kovernya.
Ini sesuatu yang langka, sebab aku nyaris tidak pernah menilai buku dari sampulnya. Selama ini, aku termasuk orang yang cukup setia mengamalkan ungkapan “Don’t judge the book by its cover”. Biasanya, pertimbangan utamaku dalam membeli atau membaca buku adalah nama pengarangnya. Baru kemudian penerbitnya dan penerjemahnya jika itu merupakan karya fiksi terjemahan. Namun, untuk kali ini aku terpaksa melanggar keyakinanku sendiri dan menyerah pada daya tarik desain kover hasil rancangan Martin Dima ini. Empat bintang untuk kerjamu, Kawan!

Kover ini memikat lantaran gambarnya yang terkesan komik dan jenaka dalam 9 panel (kotak) dengan 3 di antaranya sengaja dibuat “berlubang” seperti jendela. “Jendela” tersebut menampakkan gambar pada lapis kedua sampul ini. Unik. Lucu. Aku sempat mengira ini sebuah novel kanak-kanak seperti layaknya Totto-chan (Tetsuko Kuroyanagi).

  1. Judulnya.
Mengingatkan pada salah satu buku favoritku sepanjang masa : Totto-chan. Seperti sudah kutulis di atas, semula aku mengira buku ini buku cerita kanak-kanak (atau setidaknya tokoh ceritanya adalah anak-anak). Aku senang dengan buku yang memakai tokoh atau sudut pandang anak-anak.

  1. Kertasnya.
Novel karya sastrawan Jepang yang ditulis pada 1906 (ugh, sudah lebih satu abad, ya?) ini oleh Gramedia dicetak dalam jenis kertas ringan yang belakangan ini banyak digunakan oleh penerbit kita.

Ketiga hal di muka sebenarnya sangat jarang memengaruhiku dalam memutuskan membeli atau membaca sebuah buku (fiksi). Tetapi, agaknya sekali ini, pilihanku terhadap Botchan (dengan menggunakan 3 kategori tadi) tidak keliru. Tentu saja nama penulisnya, Natsume Soseki, tidak mungkin kujadikan  bahan pertimbangan, sebab belum pernah satu kali pun kudengar seumur hayatku. Namun, sekarang aku jadi tahu siapa sesungguhnya dia.

Natsume Soseki lahir di Tokyo pada 1867. Sejak kecil ia telah jatuh cinta pada sastra. Pada usia 14 tahun, untuk pertama kalinya bocah ini mempelajari sastra Cina di sekolahnya yang pengaruhnya terus melekat dan dapat dirasakan dalam karya-karyanya.

Lantaran cinta mati pada sastra, ketika meneruskan ke perguruan tinggi, Soseki memilih Jurusan Sastra Inggris di Tokyo Imperial University pada 1890 dan lulus lima tahun kemudian. Berikutnya, ia mengamalkan ilmunya tersebut di sekolah menengah Matsuyama sebagai guru Bahasa Inggris. Sekolah inilah yang kelak dijadikan setting Botchan, novel keduanya.

Sesungguhnya Botchan adalah sebuah kisah sederhana tentang geliat kehidupan di sebuah desa kecil bernama Shikoku. Dalam skup yang lebih sempit lagi: kehidupan para guru sekolah menengah Shikoku.

“Kecurigaan”-ku bahwa Botchan adalah buku kanak-kanak, nyaris terbukti sewaktu kudapati barisan kalimat pada bab pertama buku ini :

Sejak aku kecil, kecerobohan alamiku selalu memberiku masalah.
Pernah, suatu kali saat aku masih di sekolah dasar, aku melompat dari jendela di lantai dua dan akibatnya tidak bisa berjalan selama seminggu (hlm 11).

Aku hampir saja bersorak karena kukira akan menemukan sebuah kisah yang senada dengan Totto-chan. Tetapi, rupanya bab 1 ini hanya merupakan episode perkenalan pembaca dengan tokoh utamanya: Botchan yang dalam bahasa Jepang berarti tuan muda.

Oh, jangan buru-buru kecewa sebab kendati temanya biasa dan sederhana saja, Botchan akan memikat Anda hingga akhir cerita. Itu jika selera bacaan Anda sama denganku. Botchan adalah sebuah novel realis yang mengetengahkan persoalan sehari-hari kehidupan para guru (lelaki) yang bisa jadi merupakan potret kecil kehidupan masyarakat Jepang umumnya. Di sana ada orang yang culas, jujur, pemberani, pengecut, santun, penjilat, dan sebagainya.

Botchan sendiri, sebagai karakter utama novel ini, hampir-hampir saja menjadi antihero, karena walaupun ia tokoh protagonis, Natsume tidak menghadirkannya sebagai sosok yang sempurna, serbabaik, dan tanpa cela. Botchan adalah seorang pria biasa dengan kepandaian sedang-sedang saja. Secara fisik pun ia bukan pria tampan yang akan segera memikat hati para gadis. Ia cenderung memiliki sifat seorang penggerutu. Tetapi, ia juga seorang pria jujur yang bersikap adil, baik kepada dirinya sendiri atau pun orang lain.

Dan sebagaimana lazimnya, kejujuran selalu akan berhadapan dengan kelicikan. Memang pada akhirnya novel ini adalah sebuah kisah hitam-putih, namun Soseki tidak terjebak untuk menyampaikan pesan moralnya menjadi sebuah khotbah yang menggurui. Bahkan pada beberapa bagian, ia dengan cerdiknya menyelipkan humor-humor yang cukup lucu yang membuatku tak mampu menahan senyum atau tawa kecil. Alhasil, Botchan menjadi sebuah bacaan yang menyenangkan dan bergizi tinggi. Bagi yang sudah membaca, apakah Anda sepakat denganku?***

Penilaian Terhadap Blog Saya?

About

Followers