Rabu, 20 Januari 2010

Review Buku: Inkheart



Judul buku: Inkheart
Judul asli: Tintenherz
Penulis: Cornelia Funke
Penerjemah: Dinyah Latuconsina
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: I, Januari 2009
Tebal: 536 hlm

Inkheart merupakan buku pertama dari sebuah rangkaian Trilogi Inkworld karya penulis Jerman, Cornelia Funke. Inkheart adalah buku kedua Funke yang saya baca setelah Pangeran Pencuri. Keduanya sudah difilmkan.

Berbeda dengan Pangeran Pencuri yang mengangkat cerita realis, Inkheart lebih cenderung bergenre fantasi. Persisnya, cerita yang mengawinkan dunia nyata dengan dongeng.  Mungkin sudah biasa ya tema semacam ini. Sebut saja Harry Potter sebagai contoh mutakhir. Tetapi, dalam Inkheart nyaris tak ada kekuatan sihir. Kalaupun ada itu mungkin yang disebut sihir kata-kata. Mantra? O, bukan! Ini bahkan lebih dahsyat dari mantra para penyihir karena mampu menghadirkan tokoh-tokoh dalam buku ke dunia nyata.

Pembuat keajaiban itu adalah Mortimer, seorang “dokter” buku. Mo dan anaknya Meggie adalah orang-orang yang sangat mencintai buku. Pekerjaan Mo sebagai tukang reparasi buku–seperti memperbaiki sampul atau halaman-halaman buku yang terlepas–telah memungkinkannya bertemu dengan banyak kolektor buku. Salah satunya adalah Elinor, bibi dari istrinya yang menghilang 9 tahun lalu.

Sembilan tahun yang lalu, saat Meggie masih berumur 3 tahun, sebuah peristiwa ajaib terjadi di rumah mereka; rumah mungil dengan ratusan buku di dalamnya. Mo dikejutkan oleh kemunculan tiga sosok asing yang keluar dari dalam buku Tintenherz yang tengah dibacanya: Capricorn, Basta, dan Staubfinger serta menghilangnya Teresa, istri Mo, masuk ke dalam buku tersebut.

Sejak itu kehidupan Mo–kemudian dijuluki si Lidah Ajaib–dan Meggie tidak sama lagi. Mereka terus diburu oleh ketiga orang tersebut. Untuk menghindari mereka, Mo terpaksa harus menempuh hidup nomaden, berpindah dari satu kota ke kota lain. Hingga suatu ketika mereka tiba di rumah Elinor dan kembali mengalami petualangan yang menegangkan.

Buku ini menjadi memukau terutama lantaran tokoh-tokohnya adalah para pencinta buku yang gila-gilaan. Mo misalnya. Ia lebih rela membelanjakan uangnya untuk buku-buku ketimbang memperbaiki rumahnya yang sempit itu. Ia merawat buku-buku seperti merawat benda pusaka. Kegilaannya menurun pada Meggie, putri satu-satunya. Ke mana pun mereka pergi, benda yang tidak boleh ketinggalan adalah buku-buku.

Namun, tak ada yang melebihi kegilaan Elinor. Perempuan yang melajang itu mengabdikan seluruh hidupnya untuk buku-buku. Ia akan mengupayakan segala macam cara demi mendapatkan sebuah buku yang diinginkannya. Katanya, “Semua kolektor buku itu perampas dan pemburu”. Semua kamar di rumahnya yang besar, nyaris terisi oleh buku-buku dari segala penjuru dunia. Ia menjaga dan mencintai buku-buku itu seperti anak kandungnya sendiri. Alhasil, Elinor telah memikat hati saya dan menjadikannya tokoh favorit dalam buku ini.

Lihat saja bagaimana ia memperlakukan buku-bukunya yang sangat berharga dan ia tidak akan berpikir dua kali untuk menembakmu jika kamu berani menyentuhnya. Elinor juga rela bergelap-gelap di dalam rumahnya hanya karena lebih suka memakai uangnya untuk membeli buku ketimbang membayar tagihan listrik.

Wanita ini memang nyentrik dan tindakannya seringkali ekstrem. Namun, ia seorang yang sangat rasional dan kadang-kadang bisa arief dan bijaksana seperti saat mengucapkan, “Di tempat buku dibakar, di sana manusia pun akan segera hangus binasa.” (hlm.174)

Barangkali buat kamu yang menyukai kisah-kisah fantasi dan petualangan, bagian petualangannya itu yang paling menarik. Tetapi, buat saya, karakter-karakter para kutu buku ini jauh lebih menawan. Bukan mustahil, tokoh-tokoh rekaan ini adalah gambaran penulisnya yang juga seorang kutu buku (ia mengutip kalimat-kalimat indah dari buku-buku keren yang dibacanya di setiap bab buku ini. Saya paling suka yang ini: "Untukku, si miskin - perpustakaanku cukuplah sebagai harta" - Shakespeare, The Tempest, hlm. 282).

Sesungguhnyalah, Inkheart merupakan sebuah buku tentang buku. Tentang kecintaan terhadap buku. Tentang keajaiban kata-kata pada lembar-lembar kertas yang menghidupkan  cerita dan memberi ruh, nyawa bagi tokoh-tokohnya.  Rasanya Funke ingin menyampaikan pesan, bahwa cerita yang baik adalah cerita yang hidup; yang membuat pembacanya seolah-olah masuk ke dalamnya dan bertemu dengan tokoh-tokohnya. Ah, dalam hal ini, tampaknya saya harus sepakat.

Kelanjutan Inkheart adalah Inkspell dan Inkdeath. Mudah-mudahan segera terbit.

0 komentar:

Posting Komentar

Penilaian Terhadap Blog Saya?

About

Followers