Rabu, 20 Januari 2010

Review Buku: Botchan



Penulis: Natsume Soseki
Penerjemah: Indah Santi Pratidina
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: I, 2009.
Tebal: 217 hlm.

Beberapa alasanku memutuskan untuk membaca novel ini:

  1. Desain kovernya.
Ini sesuatu yang langka, sebab aku nyaris tidak pernah menilai buku dari sampulnya. Selama ini, aku termasuk orang yang cukup setia mengamalkan ungkapan “Don’t judge the book by its cover”. Biasanya, pertimbangan utamaku dalam membeli atau membaca buku adalah nama pengarangnya. Baru kemudian penerbitnya dan penerjemahnya jika itu merupakan karya fiksi terjemahan. Namun, untuk kali ini aku terpaksa melanggar keyakinanku sendiri dan menyerah pada daya tarik desain kover hasil rancangan Martin Dima ini. Empat bintang untuk kerjamu, Kawan!

Kover ini memikat lantaran gambarnya yang terkesan komik dan jenaka dalam 9 panel (kotak) dengan 3 di antaranya sengaja dibuat “berlubang” seperti jendela. “Jendela” tersebut menampakkan gambar pada lapis kedua sampul ini. Unik. Lucu. Aku sempat mengira ini sebuah novel kanak-kanak seperti layaknya Totto-chan (Tetsuko Kuroyanagi).

  1. Judulnya.
Mengingatkan pada salah satu buku favoritku sepanjang masa : Totto-chan. Seperti sudah kutulis di atas, semula aku mengira buku ini buku cerita kanak-kanak (atau setidaknya tokoh ceritanya adalah anak-anak). Aku senang dengan buku yang memakai tokoh atau sudut pandang anak-anak.

  1. Kertasnya.
Novel karya sastrawan Jepang yang ditulis pada 1906 (ugh, sudah lebih satu abad, ya?) ini oleh Gramedia dicetak dalam jenis kertas ringan yang belakangan ini banyak digunakan oleh penerbit kita.

Ketiga hal di muka sebenarnya sangat jarang memengaruhiku dalam memutuskan membeli atau membaca sebuah buku (fiksi). Tetapi, agaknya sekali ini, pilihanku terhadap Botchan (dengan menggunakan 3 kategori tadi) tidak keliru. Tentu saja nama penulisnya, Natsume Soseki, tidak mungkin kujadikan  bahan pertimbangan, sebab belum pernah satu kali pun kudengar seumur hayatku. Namun, sekarang aku jadi tahu siapa sesungguhnya dia.

Natsume Soseki lahir di Tokyo pada 1867. Sejak kecil ia telah jatuh cinta pada sastra. Pada usia 14 tahun, untuk pertama kalinya bocah ini mempelajari sastra Cina di sekolahnya yang pengaruhnya terus melekat dan dapat dirasakan dalam karya-karyanya.

Lantaran cinta mati pada sastra, ketika meneruskan ke perguruan tinggi, Soseki memilih Jurusan Sastra Inggris di Tokyo Imperial University pada 1890 dan lulus lima tahun kemudian. Berikutnya, ia mengamalkan ilmunya tersebut di sekolah menengah Matsuyama sebagai guru Bahasa Inggris. Sekolah inilah yang kelak dijadikan setting Botchan, novel keduanya.

Sesungguhnya Botchan adalah sebuah kisah sederhana tentang geliat kehidupan di sebuah desa kecil bernama Shikoku. Dalam skup yang lebih sempit lagi: kehidupan para guru sekolah menengah Shikoku.

“Kecurigaan”-ku bahwa Botchan adalah buku kanak-kanak, nyaris terbukti sewaktu kudapati barisan kalimat pada bab pertama buku ini :

Sejak aku kecil, kecerobohan alamiku selalu memberiku masalah.
Pernah, suatu kali saat aku masih di sekolah dasar, aku melompat dari jendela di lantai dua dan akibatnya tidak bisa berjalan selama seminggu (hlm 11).

Aku hampir saja bersorak karena kukira akan menemukan sebuah kisah yang senada dengan Totto-chan. Tetapi, rupanya bab 1 ini hanya merupakan episode perkenalan pembaca dengan tokoh utamanya: Botchan yang dalam bahasa Jepang berarti tuan muda.

Oh, jangan buru-buru kecewa sebab kendati temanya biasa dan sederhana saja, Botchan akan memikat Anda hingga akhir cerita. Itu jika selera bacaan Anda sama denganku. Botchan adalah sebuah novel realis yang mengetengahkan persoalan sehari-hari kehidupan para guru (lelaki) yang bisa jadi merupakan potret kecil kehidupan masyarakat Jepang umumnya. Di sana ada orang yang culas, jujur, pemberani, pengecut, santun, penjilat, dan sebagainya.

Botchan sendiri, sebagai karakter utama novel ini, hampir-hampir saja menjadi antihero, karena walaupun ia tokoh protagonis, Natsume tidak menghadirkannya sebagai sosok yang sempurna, serbabaik, dan tanpa cela. Botchan adalah seorang pria biasa dengan kepandaian sedang-sedang saja. Secara fisik pun ia bukan pria tampan yang akan segera memikat hati para gadis. Ia cenderung memiliki sifat seorang penggerutu. Tetapi, ia juga seorang pria jujur yang bersikap adil, baik kepada dirinya sendiri atau pun orang lain.

Dan sebagaimana lazimnya, kejujuran selalu akan berhadapan dengan kelicikan. Memang pada akhirnya novel ini adalah sebuah kisah hitam-putih, namun Soseki tidak terjebak untuk menyampaikan pesan moralnya menjadi sebuah khotbah yang menggurui. Bahkan pada beberapa bagian, ia dengan cerdiknya menyelipkan humor-humor yang cukup lucu yang membuatku tak mampu menahan senyum atau tawa kecil. Alhasil, Botchan menjadi sebuah bacaan yang menyenangkan dan bergizi tinggi. Bagi yang sudah membaca, apakah Anda sepakat denganku?***

0 komentar:

Posting Komentar

Penilaian Terhadap Blog Saya?

About

Followers