Rabu, 20 Januari 2010

Review Buku: 9 dari Nadira


Penulis: Leila S Chudori
Penerbit: KPG
Cetakan: I, Oktober 2009
Tebal: 270 hlm.

Sudah berabad-abad yang lalu rasanya ketika terkahir saya membaca cerpen Leila S Chudori, pengarang yang karya-karyanya turut mewarnai hari-hari remaja saya. Yang paling saya ingat itu cerpennya yang berjudul "Saya dan Apuy", kalau tak keliru mengingat, pernah dimuat di majalah Gadis. Masih di majalah yang sama, Leila pernah juga menulis sebuah cerita bersambung: "Seputih Hati Andra". Kedua kisah fiksi ini bertutur seputar dunia remaja dan gejolaknya.

Bertahun kemudian, saya sempat kehilangan penulis ini. Baru pada sekitar awal 90-an, saya "menemukannya" kembali lewat Malam Terakhir. Di buku kumpulan cerpennya ini, saya mendapati dirinya yang mulai beranjak dewasa. Kisah dalam cerpen-cerpennya, bukan lagi kisah cinta monyet anak-anak baru gede, tetapi mulai merambah dunia sosial politik. Leila mulai kritis memandang yang terjadi di masyarakat. Umpamanya, ihwal hak mengeluarkan  pendapat yang terpasung ("Pasien Dokter Gigi Yos").

Lalu, kembali saya kehilangan jejaknya. Sebenarnya sih ia tak hilang, karena masih sering saya dapati tulisan-tulisannya di majalah Tempo berupa artikel, berita, atau ulasan buku dan film. Katanya, ia masih suka menulis cerpen juga yang dimuat di majalah Matra. Tetapi karena saya tidak membaca majalah tersebut, praktis saya tidak mengikuti lagi cerpen-cerpennya.

Dan pada 2006, ia muncul kembali melalui skenario drama televisi yang ditulisnya, Dunia Tanpa Koma. Sinetron serial yang diperankan oleh bintang jelita, Dian Sastrowardoyo ini, menampilkan kisah seputar dunia wartawan, dunia yang digeluti Leila hingga hari ini.

Tiga tahun berikutnya, lahirlah 9 dari Nadira, sebuah novel unik yang terdiri dari 9 fragmen yang bisa saja dibaca secara sendiri-sendiri sebagaimana halnya cerpen. Maksud saya, setiap babnya merupakan satu cerita yang seolah-olah berdiri lepas walaupun pada akhirnya membentuk sebuah novel yang utuh.

Agak  mirip dengan Dunia Tanpa Koma, 9 dari Nadira pun bercerita tentang seorang gadis yang berprofesi sebagai wartawan majalah berita mingguan. Tak jauh-jauh dari kehidupan penulisnya. Malah, tokoh utamanya, Nadira, bisa jadi adalah perwujudan  Leila muda. Mereka sama-sama wartawan, sekolah di Kanada, menulis cerpen, dan sama-sama anak ketiga dari seorang ayah yang juga wartawan. Tak heran kalau Nadira bisa menjelma begitu hidup dalam novel ini. Leila seperti sedang menulis tentang dirinya sendiri.

Dasar memang penulis berbakat, kendati telah lama tak mengarang fiksi, tulisan Leila tetap saja memikat dan menjadikan novel ini sebuah kisah realis dengan tokoh-tokoh yang sangat manusiawi. Semua karakternya tampil wajar ibarat aktor dan aktris yang berakting natural. Mereka begitu hidup dan "sempurna" sebagai seorang manusia biasa yang memiliki sisi gelap dan terang. Nyaris antihero. Jenis kisah yang saya sukai.

Satu lagi yang patut mendapatkan pujian dari saya adalah ilustrasi keren, termasuk desain kovernya, yang dibuat oleh Ario Anindito. Gambar-gambarnya telah membuat penampilan buku ini semakin menarik, terutama pada bab "Sebilah Pisau". Meskipun bab ini, menurut saya, tidak perlu ada karena hanya mengulang penceritaan sosok Nadira dari angle Kris, ilustrator majalah tempat mereka bekerja, tetapi menjadi menarik lantaran ilustrasinya. Sebelumnya, tokoh Kris belum pernah muncul dan setelahnya juga tidak pernah diceritakan lagi. Jadi, seandainya bab ini tidak ada, ya juga tidak apa-apa. Tidak akan memengaruhi keseluruhan kisah. (Eh, tapi nanti judulnya jadi 8 dari Nadira dong, ya? :D)

Sejatinya, 9 dari Nadira adalah sebuah roman cinta yang berujung tidak bahagia. Karakter Nadira cenderung murung, pendiam, dan rapuh. Apalagi setelah kematian ibu yang sangat dicintainya. Praktis, kehidupan bagi Nadira menjadi kian suram dan senantiasa mendung. Tara, bos yang diam-diam memendam cinta padanya, tak bisa berbuat banyak. Hubungan dengan Nina, kakak sulungnya, juga telah lama mendingin. Sementara, kakak lelakinya, Arya, memilih hidup di hutan. Tinggallah Nadira dengan ayahnya, pensiunan wartawan yang menderita post power syndrome.

Ketika kemudian Nadira merasa menemukan cinta pada sosok Niko, ia lagi-lagi harus menelan kekecewaan. Niko mengkhianati cinta mereka. Lalu, ke mana dan kepada siapa lagi Nadira mesti berpaling dan mendapatkan cinta yang sebenarnya? Atau memang sudah tak ada lagi cinta untuknya?

Ah, rupanya bagi Leila, cinta tak harus selalu manis dan penuh bunga seperti halnya komedi romantis Hollywood. Cinta juga bisa sangat pahit, getir, dan menyakitkan

0 komentar:

Posting Komentar

Penilaian Terhadap Blog Saya?

About

Followers