Rabu, 20 Januari 2010

Review Buku: Lelaki Tua dan Laut



Judul asli: The Old Man and the Sea
Penulis: Ernest Hemingway
Penerjemah: Yuni Kristianingsih P.
Penyunting: Mita Yuniarti
Penerbit: Serambi
Cetakan: I, 2008
Tebal: 145 hlm

Pernahkah kau merasa takut menghadapi hari tua? Aku pernah. Sebagai seorang yang telah berikrar untuk melajang seumur hidup, rada ngeri juga membayangkan hari tuaku kelak. Berbeda dengan mereka yang hidup “normal” – menikah dan punya anak – barangkali masa pensiunku nanti akan kuhabiskan sendiri, tanpa anak cucu. Mungkin aku akan menghuni panti jompo yang sewanya kubayar dari uang pensiunku. Di sana, dengan sebuah laptop (pasti 30 tahun lagi bentuk komputer semakin canggih dan ringkas), aku akan mengisi sisa hidupku dengan menulis. Seperti NH Dini (Eh, tapi Eyang Dini kan punya 2 orang anak, ya?)

Tetapi yang barangkali paling kukhawatirkan tentang masa tua adalah menyaksikan tubuhku menjadi semakin lemah. Kulitku akan mengerut dan mengeriput. Wajahku akan penuh gurat-gurat aneh sebagaimana almarhum nenekku. Mungkin aku juga akan menjadi pikun, sedikit tuli, dan mengenakan kacamata setebal pantat botol. Bisa jadi juga aku akan mengenakan kerudung demi menutupi warna perak uban-uban. Itu kalau aku memang beruntung dikaruniai umur panjang hingga 70, misalnya.

Barangkali, bagi seorang nelayan, menjadi tua merupakan persoalan tersendiri. Seperti halnya Santiago, tokoh dalam Lelaki Tua dan Laut, cerpen keren karya Hemingway yang memenangi Pulitzer Prize tahun 1953. Ia tentu tidak berpikir untuk tinggal di rumah jompo di tepi pantai dan menanti ajal sembari membaca buku.

Bagi Santiago, laut adalah hidupnya. Ia mengenal samudera seakrab ia mengenal jemari tangannya. Di usia senjanya, saat kekuatan fisiknya sudah sangat menurun, ia masih melaut. Sebagaimana kehidupannya yang selalu sendiri, melaut pun dilakukannya sendiri. Ia hanya memiliki seorang sahabat kecil, Manolin, yang kadang-kadang menemaninya berburu ikan.

Sekali dalam hidup Santiago, terjadi sebuah peristiwa yang tak akan pernah dilupakannya: ia berhasil menangkap ikan marlin raksasa setelah melaut selama 85 hari. Itulah rekornya sebagai nelayan.

Pak Tua Santiago berhasil menaklukkan ikan marlin yang lebih besar dari perahunya itu setelah berjuang keras dan mengorbankan seluruh miliknya yang paling berharga: pisau, alat pancing, tali temali, dan perahunya.

Penaklukkan itu merupakan pembuktian bahwa meski ia sudah uzur namun masih sanggup bertahan hidup selama 85 hari di tengah gelombang untuk kemudian mengalahkan seekor ikan raksasa. Sendirian! Dengan sisa-sisa tenaganya. Dengan jemari tuanya yang sempat kram. Dengan otot-otot liatnya. Dengan lutut yang gemetar. Dengan tetesan darahnya. Ia bukan hanya mengalahkan marlin gede itu, tetapi juga sejumlah hiu ganas yang berusaha merebut tangkapan besarnya tersebut.

Membaca kisah Santiago ini, yang terasa olehku adalah sebuah kesepian yang sangat dalam. Sebuah perasaan kesendirian yang sangat menyentuh dari seorang pria tua di pengujung usianya. Ia kerap bercakap-cakap dengan dirinya sendiri atau dengan alam sekitarnya: ikan-ikan, burung-burung camar, penyu, angin, awan, atau tangannya sendiri:

Dia berdiri, mengelap tangannya pada celana. “Sekarang,” katanya, “kamu bisa melepaskan tali senar itu, Tangan, dan aku akan memegangnya dengan lengan kanan saja sampai kauhentikan omong kosong itu.” (hlm 65)

Nyaris di sepanjang kisah, bertebaran monolog seperti itu yang diucapkan oleh tokoh Santiago. “Percakapan” inilah yang membawa pembaca kepada sebuah kisah yang penuh perenungan tentang kehidupan, terutama hidup di masa tua. “Seseorang seharusnya tak sendirian pada usia tua mereka, pikirnya. Tetapi ini tak bisa dielakkan.” (hlm 53)

Mungkin selagi Santiago muda belia, masih sekuat kuda tenaganya, ia tidak merasa kesepian seperti saat itu. Atau mungkin juga, ia baru merasa hidupnya sangat sunyi setelah memiliki Manolin sebagai sahabat yang telah memberinya kesempatan merasakan mempunyai seseorang yang menyayangi dan mencintai. Memiliki seseorang yang ia cintai dan sayangi. Diam-diam, ia sering merindukan Manolin.

Dengan lantang ia berkata, “Aku berharap aku bersama anak lelaki itu.”  Tapi kau tidak bersama anak lelaki itu, pikirnya. Kau hanya bersama dirimu sendiri dan kau lebih baik kembali bekerja…(hlm 57).

Cerpen (ada juga yang menyebutnya novela) ini telah mengantarkan Hemingway kepada puncak ketenaran sebagai salah seorang penulis papan atas Amerika. Menurut para kritikus sastra, inilah karya masterpiece penulis kelahiran Illinois, 21 Juli 1899 itu. Berkat popularitasnya pula, telah beberapa kali, cerita si Tua Santiago ini diangkat ke layar lebar.

Konon, pengarang yang menikah empat kali ini, adalah seorang pecandu berat alkohol. Di masa tuanya, ia menderita depresi yang parah lantaran merasa tak mampu lagi menulis dengan baik. Ia menghabisi hidupnya dengan menembak kepalanya sendiri. Saat itu ia nyaris berumur 62 tahun. Tragis banget, ya?

Tetapi, untunglah, aku tidak ikut-ikutan depresi setelah membaca Lelaki Tua dan Laut ini. Sudah lama aku tak merasa ngeri lagi ihwal bayangan masa tuaku nanti. Toh, belum tentu aku akan hidup sampai tua, kan? Kata orang bijak, bayangan itu sering jauh lebih menakutkan ketimbang benda aslinya. Jadi, siapa takut?

0 komentar:

Posting Komentar

Penilaian Terhadap Blog Saya?

About

Followers