Rabu, 10 Februari 2010

Psikologi Remaja, Karakteristik dan Permasalahannya

Masa yang paling indah adalah masa remaja.
Masa yang paling menyedihkan adalah masa remaja.
Masa yang paling ingin dikenang adalah masa remaja.
Masa yang paling ingin dilupakan adalah masa remaja.

Remaja

Remaja
Menurut Hurlock (1981) remaja adalah mereka yang berada pada usia 12-18 tahun. Monks, dkk (2000) memberi batasan usia remaja adalah 12-21 tahun. Menurut Stanley Hall (dalam Santrock, 2003) usia remaja berada pada rentang 12-23 tahun. Berdasarkan batasan-batasan yang diberikan para ahli, bisa dilihat bahwa mulainya masa remaja relatif sama, tetapi berakhirnya masa remaja sangat bervariasi. Bahkan ada yang dikenal juga dengan istilah remaja yang diperpanjang, dan remaja yang diperpendek.
Remaja adalah masa yang penuh dengan permasalahan. Statemen ini sudah dikemukakan jauh pada masa lalu yaitu di awal abad ke-20 oleh Bapak Psikologi Remaja yaitu Stanley Hall. Pendapat Stanley Hall pada saat itu yaitu bahwa masa remaja merupakan masa badai dan tekanan (storm and stress) sampai sekarang masih banyak dikutip orang.
Menurut Erickson masa remaja adalah masa terjadinya krisis identitas atau pencarian identitas diri. Gagasan Erickson ini dikuatkan oleh James Marcia yang menemukan bahwa ada empat status identitas diri pada remaja yaitu identity diffusion/ confussion, moratorium, foreclosure, dan identity achieved (Santrock, 2003, Papalia, dkk, 2001, Monks, dkk, 2000, Muss, 1988). Karakteristik remaja yang sedang berproses untuk mencari identitas diri ini juga sering menimbulkan masalah pada diri remaja.
Gunarsa (1989) merangkum beberapa karakteristik remaja yang dapat menimbulkan berbagai permasalahan pada diri remaja, yaitu:
  1. Kecanggungan dalam pergaulan dan kekakuan dalam gerakan.
  2. Ketidakstabilan emosi.
  3. Adanya perasaan kosong akibat perombakan pandangan dan petunjuk hidup.
  4. Adanya sikap menentang dan menantang orang tua.
  5. Pertentangan di dalam dirinya sering menjadi pangkal penyebab pertentangan-pertentang dengan orang tua.
  6. Kegelisahan karena banyak hal diinginkan tetapi remaja tidak sanggup memenuhi semuanya.
  7. Senang bereksperimentasi.
  8. Senang bereksplorasi.
  9. Mempunyai banyak fantasi, khayalan, dan bualan.
  10. Kecenderungan membentuk kelompok dan kecenderungan kegiatan berkelompok.
Berdasarkan tinjauan teori perkembangan, usia remaja adalah masa saat terjadinya perubahan-perubahan yang cepat, termasuk perubahan fundamental dalam aspek kognitif, emosi, sosial dan pencapaian (Fagan, 2006). Sebagian remaja mampu mengatasi transisi ini dengan baik, namun beberapa remaja bisa jadi mengalami penurunan pada kondisi psikis, fisiologis, dan sosial. Beberapa permasalahan remaja yang muncul biasanya banyak berhubungan dengan karakteristik yang ada pada diri remaja. Berikut ini dirangkum beberapa permasalahan utama yang dialami oleh remaja.
Permasalahan Fisik dan Kesehatan
Permasalahan akibat perubahan fisik banyak dirasakan oleh remaja awal ketika mereka mengalami pubertas. Pada remaja yang sudah selesai masa pubertasnya (remaja tengah dan akhir) permasalahan fisik yang terjadi berhubungan dengan ketidakpuasan/ keprihatinan mereka terhadap keadaan fisik yang dimiliki yang biasanya tidak sesuai dengan fisik ideal yang diinginkan. Mereka juga sering membandingkan fisiknya dengan fisik orang lain ataupun idola-idola mereka. Permasalahan fisik ini sering mengakibatkan mereka kurang percaya diri. Levine & Smolak (2002) menyatakan bahwa 40-70% remaja perempuan merasakan ketidakpuasan pada dua atau lebih dari bagian tubuhnya, khususnya pada bagian pinggul, pantat, perut dan paha. Dalam sebuah penelitian survey pun ditemukan hampir 80% remaja ini mengalami ketidakpuasan dengan kondisi fisiknya (Kostanski & Gullone, 1998). Ketidakpuasan akan diri ini sangat erat kaitannya dengan distres emosi, pikiran yang berlebihan tentang penampilan, depresi, rendahnya harga diri, onset merokok, dan perilaku makan yang maladaptiv (& Shaw, 2003; Stice & Whitenton, 2002). Lebih lanjut, ketidakpuasan akan body image ini dapat sebagai pertanda awal munculnya gangguan makan seperti anoreksia atau bulimia (Polivy & Herman, 1999; Thompson et al).
Dalam masalah kesehatan tidak banyak remaja yang mengalami sakit kronis. Problem yang banyak terjadi adalah kurang tidur, gangguan makan, maupun penggunaan obat-obatan terlarang. Beberapa kecelakaan, bahkan kematian pada remaja penyebab terbesar adalah karakteristik mereka yang suka bereksperimentasi dan berskplorasi.
Permasalahan Alkohol dan Obat-Obatan Terlarang
Penggunaan alkohol dan obat-obatan terlarang akhir-akhir ini sudah sangat memprihatinkan. Walaupun usaha untuk menghentikan sudah digalakkan tetapi kasus-kasus penggunaan narkoba ini sepertinya tidak berkurang. Ada kekhasan mengapa remaja menggunakan narkoba/ napza yang kemungkinan alasan mereka menggunakan berbeda dengan alasan yang terjadi pada orang dewasa. Santrock (2003) menemukan beberapa alasan mengapa remaja mengkonsumsi narkoba yaitu karena ingin tahu, untuk meningkatkan rasa percaya diri, solidaritas, adaptasi dengan lingkungan, maupun untuk kompensasi.
  • Pengaruh sosial dan interpersonal: termasuk kurangnya kehangatan dari orang tua, supervisi, kontrol dan dorongan. Penilaian negatif dari orang tua, ketegangan di rumah, perceraian dan perpisahan orang tua.
  • Pengaruh budaya dan tata krama: memandang penggunaan alkohol dan obat-obatan sebagai simbol penolakan atas standar konvensional, berorientasi pada tujuan jangka pendek dan kepuasan hedonis, dll.
  • Pengaruh interpersonal: termasuk kepribadian yang temperamental, agresif, orang yang memiliki lokus kontrol eksternal, rendahnya harga diri, kemampuan koping yang buruk, dll.
  • Cinta dan Hubungan Heteroseksual
  • Permasalahan Seksual
  • Hubungan Remaja dengan Kedua Orang Tua
  • Permasalahan Moral, Nilai, dan Agama
Lain halnya dengan pendapat Smith & Anderson (dalam Fagan,2006), menurutnya kebanyakan remaja melakukan perilaku berisiko dianggap sebagai bagian dari proses perkembangan yang normal. Perilaku berisiko yang paling sering dilakukan oleh remaja adalah penggunaan rokok, alkohol dan narkoba (Rey, 2002). Tiga jenis pengaruh yang memungkinkan munculnya penggunaan alkohol dan narkoba pada remaja:
Salah satu akibat dari berfungsinya hormon gonadotrofik yang diproduksi oleh kelenjar hypothalamus adalah munculnya perasaan saling tertarik antara remaja pria dan wanita. Perasaan tertarik ini bisa meningkat pada perasaan yang lebih tinggi yaitu cinta romantis (romantic love) yaitu luapan hasrat kepada seseorang atau orang yang sering menyebutnya “jatuh cinta”.
Santrock (2003) mengatakan bahwa cinta romatis menandai kehidupan percintaan para remaja dan juga merupakan hal yang penting bagi para siswa. Cinta romantis meliputi sekumpulan emosi yang saling bercampur seperti rasa takut, marah, hasrat seksual, kesenangan dan rasa cemburu. Tidak semua emosi ini positif. Dalam suatu penelitian yang dilakukan oleh Bercheid & Fei ditemukan bahwa cinta romantis merupakan salah satu penyebab seseorang mengalami depresi dibandingkan dengan permasalahan dengan teman.
Tipe cinta yang lain adalah cinta kasih sayang (affectionate love) atau yang sering disebut cinta kebersamaan yaitu saat muncul keinginan individu untuk memiliki individu lain secara dekat dan mendalam, dan memberikan kasih sayang untuk orang tersebut. Cinta kasih sayang ini lebih menandai masa percintaan orang dewasa daripada percintaan remaja.
Dengan telah matangnya organ-organ seksual pada remaja maka akan mengakibatkan munculnya dorongan-dorongan seksual. Problem tentang seksual pada remaja adalah berkisar masalah bagaimana mengendalikan dorongan seksual, konflik antara mana yang boleh dilakukan dan mana yang tidak boleh dilakukan, adanya “ketidaknormalan” yang dialaminya berkaitan dengan organ-organ reproduksinya, pelecehan seksual, homoseksual, kehamilan dan aborsi, dan sebagainya (Santrock, 2003, Hurlock, 1991).
Diantara perubahan-perubahan yang terjadi pada masa remaja yang dapat mempengaruhi hubungan orang tua dengan remaja adalah : pubertas, penalaran logis yang berkembang, pemikiran idealis yang meningkat, harapan yang tidak tercapai, perubahan di sekolah, teman sebaya, persahabatan, pacaran, dan pergaulan menuju kebebasan.
Beberapa konflik yang biasa terjadi antara remaja dengan orang tua hanya berkisar masalah kehidupan sehari-hari seperti jam pulang ke rumah, cara berpakaian, merapikan kamar tidur. Konflik-konflik seperti ini jarang menimbulkan dilema utama dibandingkan dengan penggunaan obat-obatan terlarang maupun kenakalan remaja.
Beberapa remaja juga mengeluhkan cara-cara orang tua memperlakukan mereka yang otoriter, atau sikap-sikap orang tua yang terlalu kaku atau tidak memahami kepentingan remaja.
Akhir-akhir ini banyak orang tua maupun pendidik yang merasa khawatir bahwa anak-anak mereka terutama remaja mengalami degradasi moral. Sementara remaja sendiri juga sering dihadapkan pada dilema-dilema moral sehingga remaja merasa bingung terhadap keputusan-keputusan moral yang harus diambilnya. Walaupun di dalam keluarga mereka sudah ditanamkan nilai-nilai, tetapi remaja akan merasa bingung ketika menghadapi kenyataan ternyata nilai-nilai tersebut sangat berbeda dengan nilai-nilai yang dihadapi bersama teman-temannya maupun di lingkungan yang berbeda.
Pengawasan terhadap tingkah laku oleh orang dewasa sudah sulit dilakukan terhadap remaja karena lingkungan remaja sudah sangat luas. Pengasahan terhadap hati nurani sebagai pengendali internal perilaku remaja menjadi sangat penting agar remaja bisa mengendalikan perilakunya sendiri ketika tidak ada orang tua maupun guru dan segera menyadari serta memperbaiki diri ketika dia berbuat salah.
Dari beberapa bukti dan fakta tentang remaja, karakteristik dan permasalahan yang menyertainya, semoga dapat menjadi wacana bagi orang tua untuk lebih memahami karakteristik anak remaja mereka dan perubahan perilaku mereka. Perilaku mereka kini tentunya berbeda dari masa kanak-kanak. Hal ini terkadang yang menjadi stressor tersendiri bagi orang tua. Oleh karenanya, butuh tenaga dan kesabaran ekstra untuk benar-benar mempersiapkan remaja kita kelak menghadapi masa dewasanya.

Asal Mula Valentine’s Day

Tahukah Anda asal mula hari kasih sayang (valentine’s day) yang dirayakan setiap 14 Februari itu? Valentine sebenarnya adalah nama seorang pendeta yang hidup di Roma pada abad ketiga. Ia hidup di kerajaan yang saat itu dipimpin oleh Kaisar Claudius yang terkenal kejam. Ia sangat membenci kaisar tersebut, dan ia bukan satu-satunya. Claudius berambisi memiliki pasukan militer yang besar, ia ingin semua pria di kerajaannya bergabung di dalamya.
Namun sayangnya keinginan ini bertepuk sebelah tangan. Para pria enggan terlibat dalam perang. Karena mereka tak ingin meninggalkan keluarga dan kekasihnya. Hal ini membuat Claudius sangat marah, ia pun segera memerintahkan pejabatnya untuk melakukan sebuah ide gila.

Ia berfikir bahwa jika pria tak menikah, mereka akan dengan senang hati bergabung dengan militer. Lalu Claudius melarang adanya pernikahan. Para pasangan muda menganggap keputusan ini sangat tidak manusiawi. Karena menganggap ini adalah ide aneh, St. Valentine menolak untuk melaksanakannya.
Ia tetap melaksanakan tugasnya sebagai pendeta, yaitu menikahkan para pasangan yang tengah jatuh cinta meskipun secara rahasia. Aksi ini diketahui kaisar yang segera memberinya peringatan, namun ia tak bergeming dan tetap memberkati pernikahan dalam sebuah kapel kecil yang hanya diterangi cahaya lilin, tanpa bunga, tanpa kidung pernikahan.
Hingga suatu malam, ia tertangkap basah memberkati sebuah pasangan. Pasangan itu berhasil melarikan diri, namun malang ia tertangkap. Ia dijebloskan ke dalam penjara dan divonis mati. Bukannya dihina, ia malah dikunjungi banyak orang yang mendukung aksinya. Mereka melemparkan bunga dan pesan berisi dukungan di jendela penjara.
Salah satu dari orang-orang yang percaya pada cinta itu adalah putri penjaga penjara. Sang ayah mengijinkannya untuk mengunjungi St. Valentine di penjara. Tak jarang mereka berbicara selama berjam-jam. Gadis itu menumbuhkan kembali semangat sang pendeta itu. Ia setuju bahwa St. Valentine telah melakukan hal yang benar.
Di hari saat ia dipenggal,14 Februari, ia menyempatkan diri menuliskan sebuah pesan untuk gadis itu atas semua perhatian, dukungan dan bantuannya selama ia dipenjara. Diakhir pesan itu, ia menuliskan : “Dengan Cinta dari Valentinemu.”
Pesan itulah yang kemudian merubah segalanya. Kini setiap tanggal 14 Februari orang di berbagai belahan dunia merayakannya sebagai hari kasih sayang. Orang-orang yang merayakan hari itu mengingat St. Valentine sebagai pejuang cinta, sementara kaisar Claudius dikenang sebagai seseorang yang berusaha mengenyahkan cinta.

Tradisi Valentine
– Selama beberapa tahun di Inggris, banyak anak kecil di dandani layaknya anak dewasa pada hari Valentine. Mereka berkeliling dari rumah ke rumah sambil bernyanyi.
– Di Wales, para pemuda akan menghadiahkan sendok kayu pada kekasihnya pada hari kasih sayang itu. Bentuk hati dan kunci adalah hiasan paling favorit untuk diukir di atas sendok kayu tersebut.
– Pada jaman Romawi kuno, para gadis menuliskan namanya di kertas dan memasukkan ke dalam botol. lalu para pria akan mengambil sah satu kertas tersebut untuk melihat siapakan yang akan menjadi pasangan mereka dalam festifal tersebut.
– Di Negara yang sama, para gadis akan menerima hadiah berupa busana dari para pria. Jika ia menerima hadiah tersebut, ini pertanda ia bersedia dinikahi pria tersebut.
– Beberapa orang meyakini bahwa jika mereka melihat robin melayang di udara saat hari Valentine, ini berarti ia akan menikah dengan seorang pelaut. Sementara jika seorang wanita melihat burung pipit, maka mereka akan menikah dengan seorang pria miskin. Namun mereka akan hidup bahagia. Sementara jika mereka melihat burung gereja maka mereka akan menikah dengan jutawan.
– Sebuah kursi cinta adalah kursi yang lebar. Awalnya kursi ini dibuat untuk tempat duduk seorang wanita (jaman dahulu wanita mengenakan busana yang sangat lebar). Belakangan kursi cinta dibuat untuk tempat duduk dua orang. dengan cara ini sepasang kekasih bisa duduk berdampingan.
– Pikirkan lima atau enam nama pria (jika anda wanita) atau lima atau enam nama wanita (jika anda pria) yang ingin anda nikahi. Lalu putralah setangkai apel sambil menyebut nama tersebut satu persatu. Anda akan menikah dengan nama yang anda sebut saat tangkai tersebut lepas dari buahnya.
– Petiklah sekuntum bungan dandelion yang tengah mengembang. Tiuplah putik-putik pada bunga tersebut, lalu hitunglah putik yang tersisa. Itu adalah jumlah anak yang akan anda miliki setelah menikah.
– Jika anda memotong sebuah apel pada tengahnya dan menghitung jumlah biji di dalamnya, ini juga bisa menunjukkan jumlah anak yang akan anda miliki setelah menikah.

Cerita Pendek Dari Cafe novel

Imagosentris
    • Dewi Lestari


Imagosentris!
Jangan tanya saya dari mana asal istilah itu, karena itu hasil rekaan saya sendiri ketika tengah merenungi fenomena budaya global ini. Image atau citra adalah adimagnet yang kini menjadi titik sentral dari kebudayaan modern, menariki semua orang — miliaran paku payung yang dengan sukarela ikut menari dalam tarian magnetis nan membius.
Hidup adalah gerakan antistatis. Dan kita dapat menyaksikan bagaimana bentangan sejarah tersarikan dalam ayunan sederhana sebuah bandul; meninggalkan satu mainstream menuju cikal bakal mainstream lainnya. Apa yang dicap kontroversial pada satu masa akan menjadi fosil pada masa yang lain. Dan apa yang sekarang kita tanggapi dengan cengangan dan banjuran kekaguman, cepat atau lambat, akan kita lewati dengan perasaan gersang.
Dalam setiap peralihan posisi bandul tadi, selalu ada kawanan 'martir' dan 'pahlawan' yang muncul. Siapakah gerangan mereka?
Saya yakin akan ada letupan nama-nama di benak Anda, dari mulai Janis Joplin sampai Jonathan Davis (Korn). Pada citra mereka itulah ditanamkan representasi kita terhadap gerakan resistensi heroik melawan rambu normalitas ataupun mainstream. Jangan heran kalau label absurditas dan abnormalitas kini bukan lagi celaan, melainkan klaim pujian dan simbol keberanian.
***
Namun bagaimana kalau saya tawarkan sosok yang lebih mencengangkan lagi? Ambillah cermin. Berkacalah di sana. Detik pertama pikiran Anda mulai merumuskan bayangan yang muncul, detik itu juga Anda menemukan sang 'pahlawan'. Anda adalah partisipan yang tidak kalah penting dalam proses perubahan wajah dunia. Terlepas dari Anda seseorang yang melek budaya, seorang apatis sejati, atau seorang korban mode.
Kita semua berperan dalam gerakan imagosentris. Dunia citra dan simbol, yang selama ini digembar-gemborkan sebagai konsep eksklusif milik postmodernisme dan isme-isme lain, ternyata bisa saja bersemayam pada level hakekat. Tidakkah pernah terlintas kalau alam dan manusia juga hasil proyeksi dari 'Sesuatu'? Dan sebuah 'mini' semesta pun termanifestasi dalam setiap pikiran ketika seseorang mulai mampu memaknai citraan dirinya sendiri. Berdasarkan citra itulah kebanyakan dari kita menjalankan hidup. Kita jatuh cinta pada citra, sengsara karena citra, mengorbankan nyawa demi mempertahakankan sebuah citra, dan seterusnya.
Pulau Jawa tanpa citra ke-jawa-annya hanyalah segumpal tanah tak bernama. Indonesia tanpa citra adalah konstelasi pulau anonim. Adalah citra yang otomatis menghadirkan batas, rambu, penilaian, blablabla, yang lalu diimanensikan dalam realitas ini. Jadi, siapakah gerangan bayangan cermin yang Anda lihat tadi? Siapakah Anda sesungguhnya? Siapakah saya? Apakah realitas ini? Adakah sesuatu yang benar-benar sejati?
***
Setelah kita sejenak bermain-main di area 'basement' tadi, marilah kita meloncat lagi ke batas antara normal dan abnormal, dan upaya keras manusia untuk menarik batas pembeda antara keduanya... tidakkah kita menemukan betapa konyolnya itu semua? Lucunya lagi, justru 'kekonyolan' itulah yang menjadi roda penggerak industri terbesar di Bumi: bisnis citra.
Menolak dunia citra ini adalah usaha yang sia-sia. Realitas kita berada pada level materi, dan materi itu sendiri adalah proyeksi citra dari level yang lebih halus: level energi. Kultur, ekonomi, pasar, dan seterusnya adalah rangkaian epifenomena dari fenomena abstrak yang niscaya tidak mampu termuat dalam kata-kata.
Bercerminlah sekali lagi. Lebih dalam. Seberangilah bayangan fisik yang muncul, dan bedahlah tumpukan image yang selama ini telah membentuk Anda. Sesuatu telah membuat Anda memilih celana kargo, tank-top, T-shirt band favorit, parfum tertentu, model rambut, CD kesukaan, hobi, sampai cara berjalan. Citra apa yang tengah Anda perankan? Apakah sudah cukup keren? Cukup trendi? Cukup cool?
Ketika ditanya demikian, kebanyakan dari kita bakal menjawab, "Ah, gue sih asik-asik aja." Dan ketika dicecar lagi dengan pertanyaan 'kenapa', jawabannya adalah, "Nggak tahu. Pokoknya suka aja."
Citra memang membius. Citra bagaikan makhluk yang menuntut untuk terus diberi makan. Citra mengonsumsi perhatian kita. Detik demi detik. Nyaris tak memberikan kesempatan untuk bertanya. Akan tetapi, sama halnya dengan lambung, ada baiknya juga citra 'berpuasa' sekali-sekali. Ketika kita menjadi penonton yang berjarak, maka kita bisa memberi jeda sebentar pada diri kita. Tidak melulu menjadi obyek mesin hasrat (desiring machine) — istilah psikoanalisis Gilles Deleuze dan Felix Guattari untuk menerangkan mekanisme produksi ketidakcukupan dalam diri seseorang — tapi sesekali memberikan kesempatan bagi diri untuk merasakan energi kreativitas yang sesungguhnya. Kalau Anda beruntung, tentu saja. Tidak ada yang pasti di sini. Yang jelas, hidup rasanya mubazir apabila cuma terus menerus memberi makan pada mesin hasrat yang tak nyata.
Bercermin dan membedah refleksinya terkadang dapat menyelamatkan kita dari konflik superfisial yang tak perlu, seperti menghakimi teman yang tidak segenre, berpusing-pusing menariki batas sana-sini dan bertingkah seperti satpam penjaga portal, karena seperti apakah sebenarnya 'Normal'? Adakah kenormalan sejati? Adakah keabnormalan? Jangan-jangan semuanya adalah jajaran citra yang ingin diberi makan. Tidak ada yang lebih baik, juga tidak ada yang lebih buruk.
Mungkin sebagian akan bertanya, bukankah itu namanya pementahan? Dan pementahan adalah musuh besar kreativitas.
Ada perbedaan besar antara mementahkan dan mempertanyakan. Derrida akan menyebutnya dekonstruksi. Kalau saya, supaya lebih gampang di lidah, menyebutnya bedah citra. Satu dari sekian banyak metoda bagi Anda yang ingin menjadi penonton berjarak.
Setiap kali Anda bercermin, coba tembusilah lapisan demi lapisan citra yang membungkus Anda selama ini. Realitas yang lebih segar mungkin akan muncul. Tepatnya, realitas yang lebih... riil. Apa adanya, hingga yang ada tinggal ada. Dan mari kita tercengang bersama. ©

Cerita Pendek Dari Cafe novel

Sinkronisitas
    • Dewi Lestari

Sebut saja inisial pacar saya DL. Buntut nomor ponsel saya 7929. Setelah tidak ada kontak selama berhari-hari, satu malam saya tercenung di tempat parkir. Mata saya tahu-tahu tertumbuk pada satu plat mobil: B 7929 DL. Saya langsung yakin, malam ini saya pasti dapat kabar darinya. Dan benar saja, tidak sampai sepuluh menit, ponsel saya berbunyi.
Satu hari, saya membaca sebuah buku dalam perjalanan mobil. Buku yang sangat menggugah itu rupanya terserap begitu intens sehingga mungkin ada satu jendela sensitivitas saya yang terbuka. Ketika saya membaca sebuah bab yang membahas perihal arti nama, mendadak saya terdorong untuk mendongak, hanya untuk mendapatkan sebuah truk pasir di depan saya yang bertuliskan besar-besar: 'Arti Sebuah Nama'. Saya pun termenung lagi. Apakah arti semua ini? Terlalu naif kalau saya sebut kebetulan. Rasa-rasanya semesta sedang bergerak bersama dengan pikiran. Memberi konfirmasi untuk sesuatu yang dianggapnya berguna. Sekalipun konfirmasinya diberikan melalui hal seremeh tulisan pada truk atau nomor plat mobil, tapi bisa jadi itu menjadi jalan menuju wawasan yang lebih dalam.
Sinkronisitas dapat diartikan sebagai kebetulan-kebetulan yang bermakna. Bahkan istilah 'kebetulan' pun tidak lagi sufisien, karena pada level tertentu tidak ada satu hal pun yang kebetulan atau insidental. Semua punya makna. Semua berinterelasi dalam satu maha rencana.
Sinkronisitas adalah proses dialogis, sebuah pola komunikasi dari 'tali pusar' yang menghubungkan semua pikiran, perasaan, sains dan seni dalam rahim semesta, yang kemudian melahirkan semuanya ke dalam realitas ini. Itulah yang membedakan sinkronisitas dengan kebetulan belaka, yaitu makna inheren yang terkandung di balik segala peristiwa tadi. Sinkronisitas menunjukkan ada satu nuansa makna yang kaya, bahkan dalam hal paling insignifikan sekalipun — andaikan kita mau lebih sensitif menelaahnya.
Realitas yang kita geluti sehari-hari adalah realitas dualistis yang senantiasa melihat segalanya dalam dikotomi: terang-gelap, benar-salah, tinggi-rendah, dan seterusnya. Boleh dibilang, begitulah cara kerja alamiah pikiran kita. Sehingga otomatis segalanya menjadi linear, cause and effect. Saya begini karena kamu begitu. Saya jadi begini karena kemarin saya berbuat begitu. Siapa yang menabur, dia akan menuai.
Namun sinkronisitas memberikan alternatif pikir lain, bahwa dengan sudut pandang yang lebih tinggi, semesta tidak lagi berbicara dalam bahasa sebab-akibat. Semesta bukan garis lurus yang punya awal dan akhir. Melainkan sebuah lingkaran tak terputus yang terus berekspansi. Segalanya ternyata sinkronis. Atau bisa diartikan, semesta bergerak dalam satu gerakan tunggal. Namun sayangnya, paham reduksionis yang mendominasi dunia sains cenderung membawa sudut pandang dunia — dari mulai level sosial ekonomi hingga budaya — untuk mereduksi sinkronisitas menjadi fragmen-fragmen yang tak terperhatikan. Kausalitas, masih memiliki efek hipnotis kuat yang membawa kita untuk terus menerus berusaha menguasai kehidupan dengan cara memecah-belahnya menjadi bagian-bagian kecil yang bisa dianalisis dalam kontrol penuh.
***
Saya ingin mengambil satu contoh, yakni permainan tenis. Dalam sudut pandang yang kausal, permainan tersebut begitu sederhana, sekadar perjalanan sebuah bola yang dipukul bolak-balik. Setiap pukulan adalah hasil kontraksi otot lengan pemainnya. Info posisi inisial maupun kecepatan setiap pukulan menjadikan lintasan bola itu terukur dan terhitung. Namun, ada daya lain yang ikut memberi pengaruh yakni gravitasi. Dan gravitasi beroperasi pada keseluruhan ruang si bola, bukan pada gerakan inisialnya saja. Sementara menurut Einstein, gravitasi adalah gerakan ruang-waktu yang melengkung, sehingga apabila didesak sampai batasnya, kausalitas yang terjadi harus melibatkan lintasan bulan, planet dan bintang, bahkan massa orang yang lalu lalang di lapangan tenis itu. Dengan kata lain, seluruh elemen semesta punya peran dalam menentukan lintasan bola tenis tadi. Maka tidak berlebihan kalau Edward Lorenz berkata bahwa kepakan kupu-kupu di Hongkong dapat mengakibatkan badai besar di New York.
Rantai sebab-akibat tersebut dapat dilihat juga sebagai network atau jaringan. Semakin lebar batasan satu masalah ditarik maka semakin nyata rengkuhannya yang meliputi seluruh dunia, tata surya, bahkan semesta. Segalanya mengakibatkan segalanya.
Setiap dari kita pastinya pernah mengalami sinkronisitas, betapapun remeh kejadiannya, baik disadari atau tidak. Ada pendapat yang mengatakan bahwa sinkronisitas biasanya baru terasa pada titik kritis kehidupan seseorang, yang bisa diinterpretasikan sebagai bibit perkembangan orang itu pada masa yang akan datang. Ada juga yang melihatnya sebagai konfirmasi bahwa kita berjalan di jalur yang 'tepat'. Namun saya juga ingin menambahkan bahwa sinkronisitas adalah dialog yang terjadi antara diri kita dan Diri, dan satu bukti bahwa pada satu level kita semua adalah satu.
Bibit pemecah-belah yang terjadi di segala aspek kehidupan adalah imbas dari cara pandang yang reduksioner, sehingga 'power' adalah sesuatu yang perlu diperebutkan dan bukan dibagi. Cinta adalah sesuatu yang harus diperjuangkan dan bukannya tumbuh alami. Simbiosa antarmakhluk dilihat sebagai kompetisi antara yang lemah dan kuat. Kita menghakimi orang-orang dengan mengategorikannya sebagai 'winner' dan 'looser' . Dan cara pandang ini adalah warisan ratusan bahkan ribuan tahun.
Sinkronisitas adalah sudut pandang alternatif yang memungkinkan kita untuk melihat realitas yang sama sekali lain. Dan tentu saja, itu akan membawa perubahan perilaku dan sikap. Bukti dampak pandangan reduksionisme pada dunia rasanya tidak perlu kita perdebatkan: perang yang tak kunjung punah, separuh dunia yang masih kelaparan, dan derita yang dimulai dari level global sampai interaksi antara dua kekasih. Semua karena pemisahan, pengotak-kotakkan, yang melampaui batas fungsi yang sesungguhnya. Mungkin inilah saatnya kita mempertaruhkan kenyamanan sudut pandang lama kita dengan sesuatu yang baru. Merengkuh sinkronisitas dan terbang bersamanya. ©

Cerita Pendek Dari Cafe novel

Cinta Tak Bertuan
    • Dewi Lestari

Sepanjang hidup, kita seolah tak berhenti berusaha menaklukkan cinta. Cinta harus satu, cinta tak boleh dua, cinta maksimal empat, dan seterusnya. Jika cinta matematis, pada angka berapakah ia pas dan pada angka berapakah ia bablas? Dan kita tak putus merumuskan cinta, padahal mungkin saja cinta yang merumuskan kita semua. Infinit merangkul yang finit.
Hidup berpasangan katanya sesuai dengan alam, seperti buaya yang hidup monogami tapi ironisnya malah menjadi ikon ketidaksetiaan. Namun terkadang kita melihat seekor jantan mengasuh sekian banyak betina sekaligus, berparade seperti rombongan sirkus. Dan itu pun ada di alam. Lalu ke mana manusia harus bercermin?
Sebagaimana semua terpecah menjadi dua kutub dalam alam dualitas ini, terpecahlah mereka yang percaya cinta multipel pastilah sakit dan khianat dengan mereka yang percaya cinta bisa dibagi selama bijak dan bajik. Yang satu bicara hukum publik dan nurani, yang satu bicara hukum agama dan kisah hidup orang besar. Yang satu mengusung komisi anti itu-ini, yang satu menghadiahi piala poligami.
Merupakan tantangan setiap kita untuk meniti tali keseimbangan antara intuisi individu dan konsensus sosial. Sukar bagi kita untuk menentukan dasar neraca yang mensponsori segala pertimbangan kita: apakah ini urusan salah dan benar, atau sebetulnya cocok dan tak cocok? Jika urusannya yang pertama, selamanya kita terjebak dalam debat kusir karena setiap orang akan merasa yang paling benar. Jika urusannya yang kedua, masalah akan lebih cepat selesai. Kecocokan saya bukan berarti kecocokan Anda, dan sebaliknya. Namun seperti yang kita amati dan alami, lebih sering kita memilih yang pertama agar berputar dalam debat yang tak kunjung selesai.
***
Semalam, saya menerima sms massal yang mengatasnamakan ibu-ibu seluruh Indonesia yang mengungkapkan kekecewaannya pada seorang tokoh yang berpoligami. Pada malam yang sama, sahabat saya menelepon dan kami mengobrolkan konsep poliamori (hubungan cinta lebih dari satu). Alhasil, saya terbawa untuk merenungi beberapa hal sekaligus.
Pertama, orang yang kita kenal sebatas persona memang hanya kita miliki personanya saja. Persona adalah lapisan informasi paling rapuh, pengenalan paling dangkal, dan oleh karena itu paling cepat musnah. Orang yang tidak kita kenal paling gampang untuk dijustifikasi ketimbang orang yang kita kenal dekat.
Kedua, apakah monogami-poligami dan monoamori-poliamori ini adalah sekat-sekat tegas yang menentangkan nurani versus ego dan 'setia' versus 'buaya'? Mungkinkah dikotomi itu sesungguhnya proses cair yang senantiasa berubah sesuai tahapan yang dijalani seseorang, ketimbang karakteristik baku yang harus dipilih atau distigmakan sekali seumur hidup?
Sungguh tidak mudah menjadi seseorang yang personanya diklaim sebagai milik umat banyak. Persona seperti secabik tisu yang dengan mudah dienyahkan, diganti dengan tisu baru lainnya yang dianggap lebih bagus dan benar. Banyak dari kita bermimpi dan berjuang mati-matian agar secabik diri kita dimiliki banyak orang. Hidup demikian memang sepintas menyenangkan dan menguntungkan, meski konsekuensinya titian tali yang kita jalani semakin tipis. Ilmu keseimbangan kita harus terus diperdalam. Tali itu harus dijalani ekstra hati-hati.
Tidak mudah juga menjadi seseorang yang sangat teguh berpegang pada persona orang lain, pada mereka yang dianggap tokoh, teladan, panutan. Status selebriti bisa ada karena persona yang dipabrikasi massal lewat media lalu 'selebaran'-nya menjumpai kita, dan kita pungut. Kita mengoleksi persona mereka seperti pemungut selebaran. Terkadang kita lupa, pengenalan dan pemahaman kita hanya sebatas iklan yang tertera. Oleh karenanya justifikasi yang kita lakukan seringnya bagai memecah air dengan batu; sementara dan percuma saja. Tak terasa efeknya bagi hidup kita, tak juga bagi hidup yang bersangkutan.
Kita yang kecewa barangkali bukan karena cinta telah diduakan. Cinta tak bertuan. Kitalah abdi-abdi cinta, mengalir dalam arusnya. Persepsi kitalah yang telah diduakan. Lalu kita merasa sakit, kita merasa dikhianati. Namun tengoklah apa yang sungguh-sungguh kita pegang selama ini. Perlukah kita ikut berteriak jika yang kita punya hanyalah selebarannya saja, bukan barangnya? Barangkali ini momen tepat untuk mengevaluasi aneka selebaran yang telah kita kumpulkan dan kita percayai mati-matian. Betapa seringnya kita hanyut dalam kecewa, padahal persepsi kitalah yang dikecewakan. Betapa seringnya kita menyalahkan pihak lain, padahal ketakberdayaan kita sendirilah yang ingin kita salahkan.
Apapun persepsi kita atas cinta, tak ada salahnya bersiap untuk senantiasa berubah. Jika hidup ini cair maka wadah hanyalah cara kita untuk memahami yang tak terpahami. Banyak cara untuk mewadahi air, finit mencoba merangkul infinit, tapi wadah bukan segalanya. Pelajaran yang dikandungnyalah yang tak berbatas dan selamanya tak bertuan, yang satu saat menghanyutkan dan melumerkan carik-carik selebaran yang kita puja. Siap tak siap, rela tak rela. ©

Penilaian Terhadap Blog Saya?

About

Followers