Rabu, 20 Januari 2010

Review Buku: Laki-Laki Beraroma Rempah-Rempah



Pengarang: Tina K
Penerbit: KutuBuku Sampurna
Cetakan: I, 2009
Tebal: 262 hlm.

Tina K baru kukenal sekitar dua tahun  silam. Tetapi sesungguhnya, aku telah mengenal namanya jauh sebelum itu melalui cerpen-cerpen kerennya di majalah Anita Cemerlang. Kendati tak satu pun judul cerpennya yang berhasil kuingat dengan baik, namun fakta bahwa namanya tetap tertanam di benakku setelah sekian lama Anita menjadi almarhum, adalah bukti bahwa sebagai cerpenis remaja, nama Tina K sempat berkibar-kibar dan aku pernah menjadi penggemarnya.

Pernah? Barangkali lebih tepat jika kupakai kata “masih”, sebab sampai hari ini aku masih menyukai tulisan-tulisannya yang berciri riang, lincah, dengan menggunakan banyak percakapan sebagai pengganti fungsi narasi. Gaya penulisan seperti ini, berhasil menjadikan cerpen-cerpen Tina menyenangkan untuk dibaca. Ringan, segar, bernada optimis.  Nyaris serupa menonton film-film komedi romantis Amerika. Apalagi ditunjang pula dengan tema-tema seputar masalah cinta: cemburu, cinta platonis, patah hati, kasih tak sampai.

Setelah sekian puluh tahun nyebur ke dunia penulisan fiksi, tahun ini akhirnya Tina K membukukan karya-karyanya dalam sebuah kumpulan cerpen bertajuk Laki-Laki Beraroma Rempah-Rempah. Selamat ya, Mbak Tina!

Seluruhnya ada 18 cerpen (cinta) dalam buku ini. Cerpen-cerpen yang sangat khas Tina. Kisah-kisah percintaan orang-orang kota. Tina memang tidak selalu menyebutkan seting ceritanya, tetapi dari detail-detail yang ditampilkan, menunjuk kepada sebuah suasana perkotaan: kantor di gedung-gedung tinggi, salon, kafe, nama-nama restoran, pertokoan, dan juga nama-nama tokohnya. Sayangnya, Tina tidak menyertakan tanggal penulisan masing-masing cerpennya, sehingga kita agak kehilangan jejak.

Aku menduga, sebagian besar cerpen dalam buku ini merupakan cerpen-cerpen lawas Tina. Itu bisa terlihat jelas dari (lagi-lagi) detail yang disampaikannya. Umpamanya, pada “Kunang-Kunang Malam” (hlm.215) yang masih menghadirkan becak sebagai angkutan umum di daerah Rawamangun. Pada beberapa cerpen yang lain, tampak ada upaya penyesuaian seting cerita dengan mengubah detail-detail tersebut. Misalnya, surat diganti dengan email.

Cerpen favoritku adalah “Laki-Laki Beraroma Rempah-Rempah” dan “Ignatius de Loyola”. Alasanku sederhana saja, lantaran tokoh kedua cerpen di atas seorang wanita lajang dewasa. Di kedua cerpen ini juga, Tina telah jauh lebih matang dalam penulisannya. Tokohnya bukan lagi gadis-gadis remaja yang gelisah karena cemburu atau menderita oleh cinta yang ditolak. Tokoh perempuan (lajang) dalam “Laki-Laki….” danIgnatius ..” adalah sosok mandiri, tegar, dan matang. Sejenak aku sempat menduga, jangan-jangan perempuan dalam kedua cerpen tersebut merupakan gambaran diri sang pengarangnya. Hehehe. Benar ga, Mbak Tina? J

“Laki-Laki Beraroma Rempah-Rempah” bertutur secara menawan ihwal seorang perempuan single yang jatuh cinta kepada lelaki yang memakai wewangian beraroma rempah-rempah. Mereka berkantor di gedung yang sama. Mereka saling menyukai, namun ketika si lelaki melamar sang wanita, mendadak saja si cewek ini terserang rasa tak percaya diri. Benarkah sang jantan serius dengan lamarannya? Apa yang dilihat laki-laki itu pada dirinya yang – menurutnya – biasa-biasa saja itu? Ia bukanlah perempuan dengan tubuh seksi. Ia juga tidak memiliki kulit selembut bayi atau rambut hitam panjang tergerai layaknya para model shampoo. Bagaimana bisa pria itu jatuh hati padanya?

Di sini, Tina tampaknya sedang menyindir para lelaki (dan kita) yang pada umumnya setuju bahwa wanita cantik adalah bertubuh langsing, berkulit putih, dan berambut panjang terurai. Sebuah citra tentang cantik yang kerap dijejalkan oleh iklan produk-produk kosmetik di televisi dan majalah. Seolah tak ada tempat bagi perempuan di luar kategori tersebut untuk disebut cantik. Cantik itu langsing, bukan gemuk. Cantik itu putih, bukan hitam atau cokelat. Cantik itu lurus dan panjang, bukan keriting atau cepak.

Citra yang terus-menerus dicekokkan ke pikiran kita, pada akhirnya tanpa sadar telah membuat kita sepakat pada rumusan tentang cantik versi mereka itu. Dan celakanya, lalu banyak wanita yang ramai-ramai menyulap penampilan mereka demi memenuhi persyaratan fisik untuk bisa dibilang cantik. Kita jadi lupa, bahwa ada kecantikan lain yang berada di dalam diri kita: kepribadian (inner beauty).

“Ignatius de Loyola” lain lagi kisahnya. Kali ini, Tina mengangkat tema percintaan beda usia. Wanitanya jauh lebih tua dari pacarnya, seorang pemuda belia yang lebih pantas menjadi adiknya. Persoalan menjadi lebih pelik karena si wanita berstatus janda.

Sekali lagi Tina menyindir (kalau tak mau menyebutnya mengkritik) kita yang sering menilai negatif seorang janda. Janda acap dianggap sebagai ancaman, baik bagi para pria beristri maupun para pemuda lajang. Sepertinya, pasangan yang tepat bagi para janda adalah bujang lapuk atau para duda.

Meski favoritku hanya dua, namun bukan berarti cerpen yang lain kalah menarik. Hanya saja saat dibaca sekarang agak kurang pas. Kurang dapat menghayatinya sebab masa-masa remajaku sudah lama berlalu. Barangkali akan berbeda jika aku membacanya waktu sekolah dulu. Romantika asmara anak muda yang penuh gejolak rindu, prasangka, cemburu, marah, benci….Ah, nostalgia yang manis untuk dikenang dan diceritakan kembali.

Secara keseluruhan, cerpen-cerpen Tina tentu layak dinikmati. Hal yang patut disayangkan, masih banyak terdapat kesalahan eja dan pengetikan yang cukup mengganggu mata. Seperti melihat rumput liar di sela-sela tanaman bunga. Hal lain lagi yang aku kurang sreg adalah desain kovernya. Kesannya jadul banget. Padahal, desain kover salah satu faktor menentukan loh. Walaupun aku pengikut setia aliran don’t judge the book by its cover tetapi terganggu juga sih kalau melihat desain kover yang kurang oke.

0 komentar:

Posting Komentar

Penilaian Terhadap Blog Saya?

About

Followers