Rabu, 20 Januari 2010

Review Buku: Dua Ibu



Pengarang: Arswendo Atmowiloto
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Tahun: 2009
Tebal: 203 hlm.

Siapa yang lebih berhak menyandang sebutan ‘ibu’, seorang wanita cantik yang melahirkan kita tapu kemudian meninggalkan kita atau seorang perempuan desa sederhana yang dengan ikhlas dan penuh kasih sayang merawat serta mengasuh kita sebagai anak kandungnya sendiri?

Kurang lebih seperti itulah permasalahan yang dilontarkan Arswendo dalam novel lawasnya yang diterbitkan kembali sejak lebih setengah abad dari penerbitannya yang pertama. Dua Ibu, novel yang mengusung tema sosial, seperti kebanyakan novel Wendo, juga menghadirkan kisah drama kehidupan masyarakat kelas bawah. Sebuah kisah realis yang menyentuh tanpa dengan tokoh-tokoh orang miskin yang optimis dan selalu gembira dalam kekurangan mereka. Agaknya haram bagi tokoh-tokoh rekaan Wendo untuk mengeluh, apalagi meratap-ratap dalam kemalangan mereka.

Novel yang kuberi 3 dari lima bintang ini rasanya sudah pernah kubaca duluuuu sekali, saat aku kelas I SMA. Terus terang, tak ada yang tersisa dalam ingatanku ihwal novel ini kecuali judul dan pengarangnya serta bahwa aku telah menghilangkan buku yang kusewa dari taman bacaan “Intan” di dekat rumahku itu. Karena keteledoranku tersebut, aku kena denda harus menggantinya dengan uang senilai harga buku itu.

Kisah bukunya sendiri tidak ada yang sempat membekas. Aku jadi tidak yakin apakah waktu itu aku benar-benar telah membacanya? :D Tetapi sudahlah, itu tak penting lagi. Yang penting akhirnya kini aku betul-betul membacanya.

Yang terutama aku suka dari karya-karya Arswendo adalah karena tema realita sosialnya. Setiap membaca buku-bukunya aku selalu merasa akrab dengan karakter-karakter dan persoalan-persoalan yang mereka hadapi. Begitu riil. Begitu dekat dengan keseharianku. Seperti layaknya tetangga.

Begitu pun dalam Dua Ibu. Berkisah mengenai seorang perempuan sederhana yang memiliki cinta seorang ibu bahkan bagi anak-anak yang bukan anak kandungnya. Ia memberikan segala yang dimilikinya dengan ketulusan dan keikhlasan hati seorang ibu sejati. Ia mengingatkanku pada ibuku.

Hal lain yang aku suka dari kebanyakan tulisan-tulisan Wendo adalah karena ia selalu menggunakan bahasa yang lugas, sederhana, namun tetap menarik dinikmati. Ia juga tak melupakan unsur humor sebagai bumbu yang menambah lezat cita rasa kisah-kisah rekaannya. Yang “menyebalkan”, humor-humor itu seringkali terasa pahit dan justru membuatku diam-diam menitikkan airmata. Seperti bercanda dalam duka gitu :D.

Lantaran ini karya lawas yang berjarak seperempat abad lebih, barangkali jika dibaca kembali saat ini–khususnya buat para pembaca muda yang tidak mengalami era 80-an–akan mendapati sebuah kesenjangan yang disebabkan kemajuan teknologi sekarang. Misalnya, dalam buku ini kita masih menemui kegiatan surat-menyurat sebagai salah satu bentuk komunikasi antartokohnya. Surat, yang dikirim lewat pos, hari ini mungkin sudah menjadi sebuah benda antik berkat kehadiran internet dan handphone. Siapa lagi di antara kita yang masih memakai surat untuk berkirim sapa dan kabar?

Namun, bagi pembaca sepertiku yang sempat mengalami zaman keemasan surat-menyurat (mulai dari surat cinta hingga sahabat pena),  justru menjadi sebuah nostalgia. Kenangan romantis yang rasanya sudah tidak mungkin diulang kembali.  SMS, email, dan facebook, tentu akan jauh lebih lekas, murah, dan praktis. Yang masih sanggup bertahan barangkali kartu pos. Itu pun hanya sebatas sebagai suvenir untuk dikoleksi ketimbang penyampai warta.

Surat boleh saja telah menjadi kuno dan ketinggalan zaman, tetapi kisah tentang ibu akan selalu hadir sampai kapan pun, bukan? Semangat itulah yang menjadikan Dua Ibu tetap enak dibaca hari ini. Sebab, seorang ibu tidak akan pernah menjadi usang dan dilupakan. Kita selalu memerlukan sosoknya, di kala sakit maupun senang. Seorang Malin Kundang pun diam-diam boleh jadi merindukan ibunya, setidaknya untuk membuyarkan kutukan.

0 komentar:

Posting Komentar

Penilaian Terhadap Blog Saya?

About

Followers