Rabu, 20 Januari 2010

Review Buku: Metropolis



 Penulis: Windry Ramadhina
Penyunting: Mira Rainayati
Penerbit: Grasindo
Cetakan: I, 2009
Tebal: 331 hlm

Di sekitar lokasi pemakaman berjaga sejumlah polisi. Mobil-mobil mereka berbaris di pinggir tanah luas yang dipagari kamboja kuning dan tersaput rumput hijau yang terpangkas rapi. Bram yang memimpin polisi-polisi tersebut. Ia berdiri bersandar pada mobil dinasnya. Matanya memperhatikan kumpulan orang berpakaian serbahitam yang sedang berdoa di tengah pemakaman. Di antara kumpulan itu ia mengenali Ferry, anak tunggal Leo. Ferry berdiri paling dekat dengan peti mati ayahnya dan laki-laki muda berdarah Sulawesi itu tampak sangat terpukul (hlm 1).

Apa yang terbayang olehmu ketika membaca deskripsi di atas? Apakah sama dengan yang kubayangkan: adegan pembuka di sebuah film mafia? Pemakaman. Orang-orang berpakaian hitam. Polisi yang berjaga-jaga.

Novel kedua karya Windry Ramadhina ini memang mengusung tema mafia bergenre detektif. Mafia narkotika di Jakarta tepatnya dengan tokoh utama seorang inspektur polisi muda bernama Bram Agusta. Windry berhasil menciptakan tokohnya ini sebagai sosok polisi sekaligus detektif yang cerdas dan "bandel".  Bukan mustahil, jika Windry bersedia, ia bisa saja membuat sebuah kisah serial detektif–seperti Agatha Christie dengan Poirot-nya atau Sir Arthur Conan  Doyle dengan Sherlock Holmes-nya–dengan Bram sebagai jagoannya. Peluang itu sangat terbuka bagi penulis Orange ini.

Lewat Metropolis ini, Windry sukses menampilkan sebuah kisah campuran detektif dan aksi, genre yang jarang disentuh oleh penulis kita. Windry sangat berbakat menulis kisah serupa ini. Metropolis bisa menjadi awal yang baik bagi Windry untuk menobatkan diri sebagai penulis kisah detektif menyusul seniornya, S Mara Gd. Malah, menurutku, Windry menyimpan kekuatan yang lebih dibanding pendahulunya itu yang sangat dibayang-bayangi Agatha Christie dengan duet Kosasih dan Gozali yang meniru Poirot dan Hastings.

Sebagai sebuah cerita detektif berbalut action ala Godfather ini, Windry mampu menjaga alur dan memainkan temponya dengan baik sehingga pembaca betah bertahan hingga halaman terakhir. Ketegangan dan unsur-unsur misterinya ia olah dengan cermat dalam tuturan yang lancar dan cerdas. Tokoh-tokohnya hidup dengan karakter yang melekat konsisten. Ia juga sanggup menghadirkan sejumlah data dan fakta seputar kejahatan narkotika yang–mungkin–diperolehnya dari sumber-sumber di kepolisian Jakarta. Ini menjadi kelebihan tersendiri. Keistimewaan lainnya adalah faktor humor yang kerap dilupakan oleh para penulis kita. Padahal humor, jika dikemas dan ditempatkan dengan cerdik, bisa menjadi bumbu penyedap yang menyegarkan.  Seperti dalam buku Windry ini. Alhasil, Metropolis adalah buku detektif yang asyik dikunyah. Gurih. Kriuuuuk…..

Terus terang, ketika pertama kali Windry menyebutkan judul Metropolis, yang pertama melintas di benakku adalah sebuah novel metropop (chicklit). Maka, saat buku tersebut kuterima, gambaran tentang novel chicklit langsung sirna seketika mendapati kovernya yang bergambar cuplikan sepotong halaman koran dengan noda darah menggenang di atasnya. Desain kover yang sangat jauh dari gambaran sebuah novel chicklit yang lazimnya colourful dan ceria.

Sejatinya, bukanlah sesuatu yang terlalu mengejutkan mendapatkan fakta Windry telah menulis novel ini dengan memikat. Pada karya sebelumnya, ia telah membuktikan kemampuannya menulis melalui karya debutannya: Orange (aku belum baca buku ini) yang sempat masuk lima besar ajang KLA (Khatulistiwa Literary Award) tahun lalu untuk kategori Penulis Muda Berbakat. Di final, ia dikalahkan oleh rekannya, Wa Ode Wulan Ratna dengan bukunya Cari Aku di Canti.

Sekali lagi, selamat buat Windry. Benar deh, kalau kamu berniat menjadi penulis cerita detektif, kamu sudah memulainya dengan baik melalui Metropolis ini

0 komentar:

Posting Komentar

Penilaian Terhadap Blog Saya?

About

Followers