Jumat, 22 Januari 2010

Cerita Pendek Dari Cafe novel

 Pacarku Ada Lima
    • Dewi Lestari


Merayap pelan di Jalan Katamso, Jakarta, saat jam bubar sekolah merupakan pelatihan observasi yang baik. Seolah mengamati dunia dalam mikroskop, kecepatan lambat memungkinkan kita menangkap dengan detail jalanan yang berlubang, trotoar yang hancur, angkot yang mengulur waktu untuk menelan penumpang sebanyak-banyaknya, pedagang kaki lima yang bersesak memepet jalan aspal, dan manusia... lautan manusia. Di balik kerumunan atap rumah, menyembul matahari yang membola sempurna. Oranye. Mata saya seketika melengak ke atas, sejenak meninggalkan pemandangan Jalan Katamso yang menguji kesabaran mental. Langit berwarna-warni khas senja. Campur aduk antara kelabu, biru, ungu, merah jambu, jingga. Seketika saya bersua dengan sebuah rasa tak bernama. Kemurnian, barangkali deskripsi paling mendekati.
Banyak hal yang membuat kita jatuh cinta pada hidup. Berkali-kali. Tak akan terukur dan tertakar akal mengapa kita jutaan kali mati dan lahir, seolah tak berakhir. Sesuatu dalam mortalitas ini mengundang kita untuk kembali, dan kembali lagi. Sesuatu dalam dunia materi, jasad, partikel, mengundang jiwa kita menjemput tubuh untuk ditumpangi dan kembali mengalami.
***
Dalam keadaan mabuk asmara, kita akan merasa lahir untuk seseorang yang kita cinta. Dalam keadaan terinspirasi, kita merasa lahir untuk berkarya dan mencipta. Seorang ibu, dalam puncak kebahagiaannya, akan merasa lahir untuk melahirkan buah hatinya. Untuk beragam alasan, kita jatuh hati pada hidup dan kehidupan. Cinta yang barangkali juga datang dan pergi sesuai dengan situasi yang terus berganti.
Langit senja di jalanan macet ini menggerakkan saya untuk menelusuri cinta yang nyaris tak terganti, yang meski hidup sedang busuk dan menyebalkan, saya tahu kemurnian ini selalu menyertai jiwa saya. Untuk hal-hal inilah jiwa saya tergoda untuk kembali, dan kembali. Atau, minimal, hal-hal ini menjadi jaminan penghiburan jiwa saya selagi menjalani berbagai peran dan ragam drama yang harus dimainkan dalam hidup. Dan inilah daftar tersebut, dalam susunan acak:
Langit senja. Tertawa. Minum air putih. Suara hujan. Bergandengan tangan.
Dalam kelima hal itu, ada kemurnian yang selalu menjemput jiwa saya untuk sejenak bersuaka. Riak dan gelombang boleh turun dan pasang, pasangan saya boleh berganti, sehat-sakit-susah-senang boleh bergilir ambil posisi, tapi ada keindahan yang bergeming saat saya masih diizinkan untuk menatap langit senja, untuk tertawa lepas, untuk mengalirkan air putih segar lewat tenggorokan, untuk mendengar derai hujan yang beradu dengan bumi, untuk merasakan hangat kulit manusia lain lewat genggaman. Sederhana memang, sama halnya dengan semua penelusuran pelik yang biasanya berakhir pada penjelasan sederhana.
Sungguh saya tergoda berkata, kelima hal itu adalah kekasih saya sesungguhnya. Pacar-pacar gelap tapi tetap, yang dicumbu jiwa saya saat menjalin kasih dengan dunia materi dan sensasi ini. Bahkan kemacetan bubar sekolah di Jalan Katamso yang sempit tak mampu membendung cinta ini. ©


RIWAYAT HIDUP
Dewi Lestari Simangunsong | Lahir di Bandung, 20 Januari 1976. Sebelum Supernova keluar, tak banyak orang yang tahu kalau penulis yang akrab disapa Dee ini telah sering menulis. Tulisannya pernah dimuat di beberapa media. Salah satu cerpennya berjudul 'Sikat Gigi' pernah dimuat di buletin seni terbitan Bandung, Jendela Newsletter, sebuah media berbasis budaya yang independen dan berskala kecil untuk kalangan sendiri. Tahun 1993, ia mengirim tulisan berjudul 'Ekspresi' ke majalah Gadis yang saat itu sedang mengadakan lomba menulis dimana ia berhasil mendapat hadiah juara pertama. Tiga tahun berikutnya, ia menulis cerita bersambung berjudul 'Rico the Coro' yang dimuat di majalah Mode. Bahkan ketika masih menjadi siswa SMA 2 Bandung, ia pernah menulis sendiri 15 karangan untuk buletin sekolah.
Novel pertamanya yang sensasional, Supernova Satu: Ksatria, Puteri dan Bintang Jatuh, dirilis 16 Februari 2001. Novel yang laku 12.000 eksemplar dalam tempo 35 hari dan terjual sampai kurang lebih 75.000 eksemplar ini banyak menggunakan istilah sains dan cerita cinta. Bulan Maret 2002, Dee meluncurkan 'Supernova Satu' edisi Inggris untuk menembus pasar internasional dengan menggaet Harry Aveling (60), ahlinya dalam urusan menerjemahkan karya sastra Indonesia ke bahasa Inggris.
Supernova pernah masuk nominasi Khatulistiwa Literary Award (KLA) yang digelar QB World Books. Bersaing bersama para sastrawan kenamaan seperti Goenawan Muhammad, Danarto lewat karya Setangkai Melati di Sayap Jibril, Dorothea Rosa Herliany karya Kill The Radio, Sutardji Calzoum Bachri karya Hujan Menulis Ayam dan Hamsad Rangkuti karya Sampah Bulan Desember.
Sukses dengan novel pertamanya, Dee meluncurkan novel keduanya, Supernova Dua berjudul 'Akar' pada 16 Oktober 2002. Lama tak terdengar, akhirnya Januari 2005 Dee merilis novel ketiganya, Supernova episode PETIR. Kisah di novel ini masih terkait dengan dua novel sebelumnya. Hanya saja, ia memasukkan 4 tokoh baru dalam PETIR. Salah satunya adalah Elektra, tokoh sentral yang ada di novel tersebut. Dan pada medio Juni 2007, ia menerbitkan antologi cerpennya yang berjudul 'Filosofi Kopi' yang tak kalah suksesnya dengan novel-novel terdahulunya.


0 komentar:

Posting Komentar

Penilaian Terhadap Blog Saya?

About

Followers